jurnalistika.id – Raksasa tambang global BHP memperingatkan perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) dapat memperburuk kelangkaan tembaga dalam beberapa dekade mendatang. Salah satu bahan utama dalam transisi energi ramah lingkungan ini, diproyeksikan akan semakin langka seiring meningkatnya permintaan global.
Dalam laporan terbaru yang dikutip dari The Financial Times, Kepala Keuangan BHP, Vandita Pant, menyebutkan pusat data dan teknologi AI yang berkembang pesat membutuhkan daya komputasi yang sangat besar. Hal ini diperkirakan akan meningkatkan permintaan tembaga hingga 3,4 juta ton per tahun pada 2050.
“Saat ini, permintaan pusat data terhadap tembaga kurang dari 1 persen. Namun, diperkirakan akan meningkat menjadi 6 hingga 7 persen pada tahun 2050,” ungkap Vandita Pant.
Baca juga: Apple Buka Pre-Order iPhone 16 Series di 58 Negara, Gini Caranya
Meskipun pusat data tidak menggunakan tembaga secara langsung dalam jumlah besar, tetapi sangat bergantung pada logam tersebut untuk suplai daya dan sistem pendinginnya.
BHP memperkirakan permintaan global untuk tembaga akan mencapai 52,5 juta ton per tahun pada 2050. Naik drastis dari 30,4 juta ton pada 2021.
Peningkatan sebesar 72 persen ini menggambarkan ketergantungan dunia terhadap tembaga. Khususnya di sektor teknologi dan energi terbarukan.
Perkembangan kecerdasan buatan, menurut BHP, akan mengubah pola permintaan komoditas, terutama tembaga, di seluruh dunia. Hal ini memicu kompetisi di kalangan perusahaan tambang untuk memperoleh akses terhadap cadangan tembaga, yang jumlahnya terbatas.
Salah satu contoh adalah kegagalan BHP dalam tawaran merger senilai £39 miliar dengan Anglo American pada awal tahun ini, yang bertujuan memperkuat posisi BHP di pasar tembaga.
Tantangan Pasokan dan Investasi
Selain itu, pada Juli 2024, BHP bersama dengan perusahaan tambang asal Kanada, Lundin Mining, menginvestasikan US$3 miliar untuk mengakuisisi Filo, perusahaan eksplorasi yang memiliki prospek tambang tembaga yang menjanjikan.
Para analis memperkirakan dunia akan menghadapi kekurangan pasokan tembaga, terutama dalam jangka menengah dan panjang. Kebutuhan akan logam ini diperkirakan akan semakin tinggi seiring dengan semakin banyaknya pusat data yang berupaya mengakomodasi teknologi AI.
Pusat data membutuhkan chip yang lebih boros energi dan memerlukan sistem suplai daya yang lebih besar—dua hal yang sangat mengandalkan tembaga.
“Pusat data sendiri tidak menggunakan tembaga secara intensif, namun menyalurkan listrik ke pusat data itu membutuhkan tembaga secara intensif,” kata Colin Hamilton, analis komoditas di BMO Capital Markets.
Namun, beberapa pihak memperingatkan bahwa proyeksi jangka panjang untuk penggunaan tembaga di sektor pusat data masih sangat spekulatif.
“Kita berada pada masa awal AI, jadi berapa banyak AI yang akan digunakan dunia pada tahun 2050? Kami tidak tahu apa-apa,” kata seorang analis.
Meski diperkirakan akan mengalami kenaikan permintaan dalam jangka panjang, pasar tembaga saat ini masih dalam kondisi surplus. Lemahnya permintaan dari Tiongkok, salah satu konsumen tembaga terbesar dunia, menekan harga logam ini.
Pada tahun ini, harga tembaga diperdagangkan di kisaran US$9.207 per ton, 15 persen lebih rendah dibandingkan puncaknya pada Mei lalu.
Namun, surplus ini diperkirakan tidak akan berlangsung lama. BHP memprediksi bahwa permintaan akan mulai melebihi pasokan pada akhir dekade ini, yang dapat memicu lonjakan harga tembaga.
Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini