jurnalistika.id – Nepal tengah diguncang krisis politik dan sosial setelah gelombang protes besar-besaran yang menelan sedikitnya 22 korban jiwa memaksa Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri.
Aksi yang awalnya dipicu oleh larangan media sosial kini berubah menjadi gerakan antikorupsi generasi muda yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara Himalaya itu.
Awal Pemicu: Larangan Media Sosial
Pemerintah Nepal pekan lalu melarang 26 platform media sosial populer, termasuk WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Alasannya platform-platform itu gagal mendaftar ke Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi.
Namun, publik menilai langkah tersebut sebagai upaya membungkam suara kritis dan mempersempit ruang gerakan antikorupsi yang saat itu kian menguat.
Baca juga: Temuan TNI Soal Dugaan Tindak Pidana Ferry Irwandi Ternyata Pencemaran Nama Baik
Larangan ini memicu kemarahan publik, terutama kalangan muda. Nepal dikenal memiliki tingkat penggunaan media sosial per kapita tertinggi di Asia Selatan, sehingga kebijakan ini langsung dirasakan dampaknya.
Setelah mendapat tekanan, pemerintah akhirnya mencabut larangan tersebut pada Senin (1/9/2025) malam. Namun, protes terlanjur membesar dan berubah menjadi gerakan menuntut perubahan struktural.
Demonstrasi Gen Z yang Membesar
Ribuan demonstran, banyak di antaranya mengidentifikasi diri sebagai Generasi Z, turun ke jalan membawa plakat dan slogan seperti #NepoBaby dan #NepoKids.
Tagar ini muncul setelah viralnya video gaya hidup mewah keluarga politisi Nepal di TikTok dan Instagram, yang dianggap jauh dari realitas keras yang dialami rakyat biasa.
Bagi mahasiswa seperti Binu KC, larangan media sosial hanyalah puncak gunung es.
“Kami ingin mengakhiri korupsi di Nepal. Para pemimpin hanya menjanjikan saat pemilu, tetapi tidak menepatinya. Mereka penyebab begitu banyak masalah,” ujarnya kepada BBC Nepali.
Aksi juga diikuti pelajar sekolah, mahasiswa, hingga kreator konten. Hal itu menjelaskan protes lebih dari soal kebebasan digital, tetapi juga soal ketidakadilan sosial dan politik.
Bentrok dengan Aparat
Situasi mulai memanas ketika ribuan demonstran memanjat tembok parlemen dan menyerbu gedung pemerintahan di Kathmandu. Polisi merespons dengan gas air mata, meriam air, hingga peluru tajam.
Sedikitnya 19 orang tewas pada hari pertama bentrokan, sementara hampir 200 orang lainnya terluka. Rumah sakit di ibu kota dipenuhi korban dengan luka tembak dan bekas peluru karet.
Polisi melaporkan sejumlah anggotanya juga terluka dalam kerusuhan.
Menteri Komunikasi Nepal, Prithvi Subba, menyatakan polisi “terpaksa menggunakan kekerasan” untuk mencegah kerusuhan meluas. Namun, pernyataan itu tidak meredakan kritik keras dari publik.
Gelombang Kekerasan: Pembakaran dan Perusakan
Kerusuhan berlanjut, Para demonstran membakar gedung parlemen Nepal, kantor pusat Partai Kongres Nepal, serta rumah mantan Perdana Menteri Sher Bahadur Deuba.
Rumah sejumlah politisi lain ikut dirusak, sementara asap hitam tebal membumbung di langit Kathmandu.
Sedikitnya tiga orang tewas pada hari kedua, menambah jumlah korban menjadi 22 orang sejak kerusuhan pecah.
Jam malam diberlakukan di sekitar gedung-gedung pemerintahan utama, sementara militer mulai dikerahkan ke jalan-jalan.
Dalam situasi yang memanas dan eskalasi krisis, Perdana Menteri KP Sharma Oli resmi mengundurkan diri pada Selasa malam.
Kantor PM menyatakan pengunduran diri dilakukan untuk “membuka jalan bagi solusi konstitusional” atas protes besar-besaran tersebut.
Keputusan itu menandai runtuhnya kepemimpinan Oli setelah menghadapi salah satu gelombang protes terbesar dalam sejarah modern Nepal.
Militer Turun Tangan
Seusai pengunduran diri Oli, Panglima Militer Nepal Jenderal Ashok Raj Sigdel mengeluarkan pernyataan. Ia menuduh demonstran memanfaatkan krisis untuk menjarah dan merusak fasilitas publik. Militer, katanya, siap mengendalikan situasi bersama seluruh aparat keamanan.
Namun, Jenderal Sigdel juga mengundang demonstran berdialog. “Kami berkomitmen mencari solusi damai,” ujarnya.
Meski begitu, belum jelas siapa yang akan mewakili para pengunjuk rasa, sebab gerakan ini tidak dipimpin tokoh tunggal atau partai, melainkan bergerak spontan lewat media sosial.
Tidak adanya pemimpin formal justru menjadi ciri unik gerakan ini. Para demonstran terhubung lewat media sosial, membagikan informasi real-time, dan mengorganisasi aksi lintas kota, termasuk di Kathmandu, Pokhara, dan Itahari.
Wali Kota Kathmandu, Balen Shah, menjadi satu-satunya pejabat politik yang secara terbuka mendukung aksi tersebut. Ia mengimbau agar protes dilakukan dengan damai.
Meski begitu, energi anak muda Nepal tampak sulit terbendung. “Generasi Z tidak akan berhenti sekarang. Ini bukan hanya tentang media sosial — ini tentang membungkam suara kami, dan kami tidak akan membiarkannya,” kata Subhana Budhathoki, seorang kreator konten.
Dengan jatuhnya Oli, Nepal kini memasuki ketidakpastian politik baru. Belum jelas siapa yang akan memimpin pemerintahan sementara atau bagaimana transisi dilakukan.
Militer menyatakan siap mengendalikan keadaan, tetapi masih samar apakah langkah itu berarti keterlibatan lebih besar dalam politik.
Yang pasti, protes di Nepal telah berubah menjadi simbol perlawanan generasi muda terhadap korupsi dan ketidaksetaraan sosial.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.
Sumber: BBC

