jurnalistika.id – Ramadan merupakan bulan yang penuh kemuliaan dan keutamaan. Dalam menjelaskan perihal kemuliaan atau keutamaan sering kita mendengar sang penceramah mengutip sebuah hadis yang membagi bulan Ramadan menjadi tiga bagian. Pembagian keutamaan Ramadan itu antara lain, 10 hari pertama rahmat, 10 hari kedua ampunan dan 10 hari ketiganya atau yang terakhir adalah jaminan terbebas dari siksa api neraka.
Adapun hadis untuk melegitimasi keterangan pembagian Ramadan di atas adalah hadis riwayat Abi Dunya, Al-Khatib dan Ibnu ‘Asakir berikut ini.
أول شهر رمضان رحمة، وأوسطه مغفرة، وآخره عتق من النار. )رواه ابن أبي الدنيا والخطيب وابن عساكر.(
“Ramadan itu adalah bulan yang awalnya penuh dengan rahmat, di pertengahannya penuh dengan ampunan dan di akhirnya adalah pembebasan dari siksa api neraka.” (HR Ibnu Abi Dunya, Al-Khatib dan Ibnu ‘Asakir)
Dalam riwayat lain dengan sedikit perbedaan pada redaksinya adalah riwayat dari Ibnu Huzaemah dan Al-Baihaqi:
فقد روي من حديث سلمان: وهو شهر أوله رحمة وأوسطه مغفرة وآخره عتق من النار. )رواه ابن خزيمة في صحيحه وقال: إن صح. والبيهقي في شعب الإيمان(
Artinya: “Telah diriwayatkan dari Salman bahwa Ramadan adalah bulan yang awalnya penuh rahmat, Di pertengahannya penuh ampunan dan fase terakhirnya pembebasan dari api neraka.” (HR Ibnu Huzaimah dalam Kitab Sahihnya dan Al Baihaqi dalam Kitab Syu’bul Iman).
Berdasarkan redaksi teks hadis di atas, maka dapat dipahami bahwa bulan Ramadan di dalamnya terdapat banyak sekali keistimewaan dan kemuliaan. 10 hari pertama dalam bulan ini merupakan rahmat, 10 hari pertengahan bulan ini merupakan bulan yang penuh ampunan. Sedangkan 10 hari terakhir bulan Ramadan mendapatkan jaminan terbebas dari siksa api neraka.
Hadis yang popular karena sering dikutip para penceramah dalam menyampaikan materi keutamaan dan keistimewaan bulan Ramadan ini, maka pertanyaannya adalah apakah hadis ini terkategori shahih atau tidak?
Kualitas Hadis Pembagian Keutamaan Ramadan
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syuʽabul Iman dan juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih ibn Khuzaimah. Walaupun diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih-nya. Menurut al-Suyuthi, hadits ini bermuara pada satu sumber sanad (madar), yaitu Ali ibn Zaid ibn Jadʽan yang divonis oleh para ulama sebagai orang yang dhaif.
Sedangkan orang yang meriwayatkan hadits tersebut dari Ali ibn Zaid adalah Yusuf bin Ziyad yang divonis dhaif parah (dhaif jiddan). Walaupun ada ulama lain yang juga meriwayatkan hadits ini dari Ali bin Zaid, yaitu Iyas ibn Abd al-Ghaffar. Sayangnya Iyas sendiri juga orang yang majhul menurut Ibn Hajar al-Asqalani. (Lihat: al-Suyuthi, Jâmiʽ al-Aḥâdîts, [Beirut: Dar Fikr, t.t], j. 23, h. 176.)
Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al ‘Aini dalam ‘Umdatul Qari (10/383), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), Al Albani dalam Takhrij Al Misykah (1906), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110).
Matan Hadis Bertentangan dengan Hadis Sahih
Bukan hanya dari sisi rawi hadis ini saja yang dinilai dha’if dan majhul, dari sisi matan hadis ini dinilai bertentangan dengan hadis-hadis shahih tentang keutamaan bukan Ramadan.
Mengutip muslim.or.id, Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini munkar. Karena matan hadits ini bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang sahih yang menyatakan bahwa di seluruh waktu di bulan Ramadan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya.
Di antaranya hadits Abu Hurairah RA Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه
“Orang yang puasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)
Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadan saja.
Lebih jelas lagi pada hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu yang dikeluarkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
“Pada awal malam bulan Ramadan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’. Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
Juga hadits Jabir bin Abdillah RA, Rasulullah SAW bersabda:
إنَّ للهِ في كلِّ يومٍ وليلةٍ عُتَقاءَ مِنَ النَّارِ في شهرِ رمضانَ وإنَّ لكلِّ مسلمٍ دَعوةً يدعو بها فيُسْتجابُ له
“Sesungguhnya di setiap hari dan malam bulan Ramadan dari Allah ada pembebasan dari api neraka. dan bagi setiap Muslim ada doa yang jika ia berdoa dengannya maka akan diijabah” (HR. Ahmad 2/254, Al Bazzar 3142, Al Haitsami berkata: “semua perawinya tsiqah”).
Tidak Boleh Meyakini dari Rasulullah SAW
Dengan demikian, jelas bahwa dari sisi kualitas rawi dan matan, hadis ini terbukti kuat memiliki kualitas dha’if. Lantas, menyikapi hal ini ada beberapa hal yang harus kita ketahui jika ingin menyampaikan hadis ini.
Mengutip laman resmi Nahdlatul Ulama, jika seorang penceramah telah mengetahui bahwa hadits itu dhaif, jangan meriwayatkan atau menyampaikan dengan sighat jazm (lafal yang memastikan , menetapkan dan meyakinkan bahwa itu benar-benar dari Rasulullah), seperti dengan lafaz “Qâla Rasûlullah” dan semacamnya. Tidak boleh juga menggunakan lafal “rawâ.”
Tapi hendaknya meriwayatkan dengan sighat tamridh saja, seperti “qîla” atau “ruwiya”. Ini adalah salah satu tindakan untuk berhati-hati, karena telah mengetahui status kedhaifan hadits tersebut. Alangkah lebih baiknya jika dikuatkan dengan hadits lain yang secara substansi sama tapi lebih sahih sanadnya.
Apakah Boleh Meriwayatkan dan Mengamalkan Hadis Dha’if?
Pada prinsipnya, hadits yang berkaitan dengan fadhail amal (keutamaan beramal) itu boleh diriwayatkan. Dalam konteks pembahasan tulisan ini, boleh digunakan untuk ceramah, walaupun dhaif.
Mahmud al-Thahhan menyebutkan bahwa hadits dhaif bisa disampaikan atau diriwayatkan, bahkan tanpa menyebutkan kedhaifannya. Bahkan ulama hadits telah menyepakati diperbolehkannya meriwayatkan hadits dhaif.
Hal ini terbukti dengan banyaknya hadits-hadits dhaif yang tersimpan di sejumlah kitab-kitab hadits. Akan tetapi tentunya kebolehan itu bukan tanpa syarat.
Dalam meriwayatkan hadis dla’if ini harus memenuhi syarat-syarat berikut ini.
1. tidak berhubungan dengan akidah, seperti sifat Allah SWT dan lain sebagainya.
2. tidak berhubungan dengan hukum syariat seperti halal dan haram.
Hasan Muhammad Al-Masyath dalam Al-Taqriratus Saniyyah fi Syarahil Mandzumah Al-Bayquniyyah sebagaimana dikutip dari laman NU, menjelaskan bahwa sebagian ulama membolehkan meriwayatkan hadis dla’if dengan syarat hadis itu berisi kisah, nasehat-nasehat, fadlailul amal (keutamaan amal). Bukan berisi hal-hal yang berkaitan dengan akidah, sifat-sifat Allah SWT dan hukum halal haram. Kemudian, ia juga mensyaratkan hadis yang diriwayatkan ini bukan hadis dlaif yang parah (syadid adz-dza’if) .
قد أجاز بعض العلماء رواية الحديث الضعيف من غير بيان ضعفه بشروط: أولا أن يكون الحديث في القصص أو المواعظ أو فضائل الأعمال أو نحو ذلك مما لا يتعلق بصفة الله والعقائد والا بالحلال والحرام وسائر الأحكام الشرعية وأن لا يكون الحديث موضوعا أو ضعيف شديد الضعف
Artinya, “Sebagian ulama membolehkan periwayatan hadits dhaif tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan beberapa syarat: hadits tersebut berisi kisah, nasihat-nasihat, atau keutamaan amalan, dan tidak berkaitan dengan sifat Allah, akidah, halal-haram, hukum syariat, bukan hadits maudhu’, dan tidak terlalu dhaif.”
Baca berita dan ikuti jurnalistika di Google News, klik di Sini.
kontributor: Khazim