jurnalistika.id – Cristiano Ronaldo pernah menjadi simbol kesempurnaan dalam sepak bola modern. Dari kaki kanannya lahir kecepatan, tenaga, dan presisi yang membuat dunia terpana selama hampir dua dekade.
Namun pertandingan antara Al Nassr melawan Al Ittihad di Piala Raja Arab Saudi menjadi cermin pahit bahwa waktu tak pernah bisa dikalahkan.
Di usia 40 tahun, sosok yang dulu dikenal tak kenal kompromi dengan performa kini tampak berjuang untuk menaklukkan batas tubuhnya sendiri.
Kesalahan fatal yang dilakukan Ronaldo ketika berhadapan satu lawan satu dengan kiper Al Ittihad, Predrag Rajkovic, menggambarkan dengan gamblang perubahan itu.
Baca juga: Sudahlah Ronaldo, Sekarang Saatnya Istirahat
Dulu, momen seperti itu hampir selalu berakhir dengan gol yang mematikan. Kini, sepakan cungkilnya terlalu lemah, seolah tenaga dan instingnya tak lagi seirama.
Upaya dari bola mati pun gagal menembus sasaran. Semua terlihat seperti pertarungan seorang legenda dengan bayangannya sendiri.
Al Nassr akhirnya tersingkir usai kalah 1-2. Kekalahan itu bukan lebih dari sebatas pertandingan, namun ada potret perjalanan panjang seorang pemain yang menolak tunduk pada usia.
Sejak datang ke Arab Saudi, Ronaldo belum sekali pun mengangkat trofi resmi. Empat musim berlalu, setiap ambisi berakhir di titik yang sama, kegagalan.
Menua Meninggalkan Kenangan
Di balik kegigihan itu, tersimpan pelajaran berharga tentang manusia dan waktu. Tak peduli seberapa keras seseorang berlatih, ada masa ketika ketajaman perlahan memudar, dan kecepatan tak lagi menunggu perintah otak.
Tubuh memiliki bahasa sendiri yang tak bisa disangkal. Ronaldo mungkin masih mencetak gol, tapi ritme permainan yang dulu penuh ledakan kini berubah menjadi langkah hati-hati, terkadang justru memperlambat timnya.
Banyak yang akan mengenang Ronaldo karena trofi, gol, dan rekor yang ia ciptakan. Namun lebih dari itu, kisahnya kini menjadi refleksi tentang menerima kenyataan bahwa kejayaan tak bisa diulang tanpa batas.
Baca juga: Apa Klub Sepak Bola Pertama di Dunia? Temukan Jawabannya
Setiap manusia, bahkan yang paling hebat sekalipun, akan sampai di titik di mana yang tersisa hanyalah kenangan tentang masa ketika tubuh masih mengikuti ambisi.
Dari Cristiano Ronaldo, kita belajar bahwa waktu memang bisa dikalahkan untuk sementara, tapi tidak pernah benar-benar dimenangkan.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

