Jurnalistika
Loading...

Saat Demokrasi Melahirkan Pemimpin Tersandera, Matilah Kesejahteraan

  • Jurnalistika

    10 Nov 2025 | 10:50 WIB

    Bagikan:

image

Ilustrasi pemimpin tersandera. (Generated by AI)

jurnalistika.id – Dalam sistem politik yang seharusnya menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, sering kali terjadi justru sebaliknya.

Pemimpin yang dipilih melalui mekanisme demokrasi kerap menjadi tawanan dari kepentingan politik yang membesarkannya.

Ia tidak lagi menjadi sosok yang bebas berpikir dan bertindak untuk rakyat, melainkan terbelenggu oleh jaringan kekuasaan yang menahannya agar tetap tunduk.

Jika benar demikian, maka demokrasi sejatinya telah menciptakan wajah baru politik, pemimpin yang bicara bukan karena nuraninya, melainkan karena dikendalikan oleh para penyandera di belakang layar.

Perjanjian Politik

Kondisi tersebut muncul ketika seorang pemimpin naik ke tampuk kekuasaan. Dia menang karena bantuan dari kelompok politik, elit ekonomi, dan tokoh berpengaruh yang bertindak sebagai sponsor kemenangannya.

Sementara, suara rakyat hanya dijadikan peran pembantu untuk supaya negara tetap berjalan dengan wajah demokratis. Semuanya di desain supaya tidak menganggu kelompok sponsor tadi.

Pada bagian inilah dapat dilihat bahwa bantuan tersebut tidak pernah gratis. Seiringan dengan terjadinya kesepakatan, ada juga nota tak tertulis yang isinya balas budi.

Baca juga: Merawat Kader Ala Don Vito Corleone

Oleh sebab itu, pada titik ini pula, idealisme yang dulu menjadi janji kampanye mulai terkikis. Keputusan strategis, arah kebijakan, bahkan retorika di hadapan publik perlahan berubah mengikuti keinginan para penyokong yang kini memegang kendali.

Pemimpin yang semula terlihat tegas dan berdaulat, kini terjebak dalam permainan kepentingan yang halus tapi mencengkeram kuat.

Dosa Masa Lalu Dianyam Menjadi Kartu AS

Dalam konteks politik modern, bentuk penyanderaan ini tidak selalu berupa ancaman eksplisit. Ada yang lebih berbahaya, penyanderaan melalui dosa masa lalu.

Banyak tokoh politik yang sebelum berkuasa pernah menjadi bagian dari pemerintahan sebelumnya, dan karena itu membawa jejak kasus atau kebijakan yang bisa dijadikan alat tekan.

Di sinilah politik berubah menjadi arena barter pengaruh dan perlindungan. Kasus korupsi yang belum sepenuhnya diusut bisa menjadi “kartu as” bagi pihak tertentu untuk menundukkan pemimpin yang baru.

Baca juga: Bahayanya Pemimpin Jika Hanya Menerima Kabar Baik

Ketika tali itu sudah melingkar di leher kekuasaan, pemimpin akan sulit bergerak. Ia berbicara seolah bebas, tetapi setiap kalimat yang keluar sudah disesuaikan dengan izin dari para penyandera.

Perubahan itu bisa dilihat dari berbagai pernyataan publik yang kerap terasa tidak konsisten. Ada kalanya seorang pemimpin berbicara dengan nada besar, penuh janji dan kepercayaan diri, tetapi isi pesannya justru mereduksi persoalan serius yang sedang terjadi.

Misalnya, ketika muncul dugaan korupsi yang menyeret nama tokoh berpengaruh di pemerintahan sebelumnya, pemimpin malah memilih menganggap enteng atau bahkan menyatakan “aman”.

Bila melihat di balik pernyataan seperti itu, publik bisa membaca ada sesuatu yang ditahan, sesuatu yang tidak bisa diucapkan karena akan mengancam keseimbangan politik yang rapuh.

Penyanderaan semacam ini pada dasarnya adalah bentuk korupsi moral. Ia merampas kebebasan pemimpin untuk bertindak sesuai mandat rakyat dan menggantinya dengan kepatuhan terhadap kekuasaan bayangan.

Pemimpin tidak lagi menjadi simbol keberanian, tetapi menjadi alat yang melanggengkan kepentingan pihak tertentu.

Dalam situasi semacam ini, demokrasi kehilangan rohnya karena suara rakyat tidak lagi menjadi penentu arah kebijakan. Yang menentukan justru jaringan yang menahan pemimpin agar tetap “jinak”.

State Capture Memperparah Demokrasi

Secara akademis, fenomena ini bisa dijelaskan melalui teori state capture atau “penyanderaan negara”. Konsep ini menjelaskan bagaimana aktor politik dan ekonomi memengaruhi kebijakan publik demi kepentingan sempit.

Dalam konteks bernegara, bentuk state capture ini sering kali muncul dalam pola hubungan patron-klien antara elite politik dan pelaku ekonomi.

Pemimpin yang seharusnya independen berubah menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan kelompok yang membiayai karier politiknya. Akibatnya, kebijakan publik bukan lagi cerminan aspirasi rakyat, melainkan instrumen untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan melindungi kepentingan bisnis tertentu.

Baca juga: Malang Betul Jadi Guru di Negeri Berhukum Lengkap

Masalahnya, penyanderaan ini tidak selalu terlihat kasat mata. Ia bekerja melalui simbol, kedekatan, dan pembungkaman halus terhadap wacana kritis.

Pemimpin yang disandera akan tampak percaya diri di depan publik, penuh karisma, dan gemar berbicara besar.

Namun bila diamati lebih jauh, setiap pernyataannya cenderung aman, tidak mengguncang status quo, dan bahkan menenangkan pihak yang mestinya dikritik. Rakyat yang mencermati ini akan merasakan ada ketidaktulusan di balik retorika yang megah.

Jika dibiarkan, situasi semacam ini menciptakan krisis kepercayaan. Rakyat mulai sulit membedakan antara pemimpin sejati dan aktor politik yang hanya memainkan peran sesuai naskah yang ditulis penyandera.

Lebih parah lagi, penyanderaan ini berpotensi melahirkan generasi politisi yang menganggap kepatuhan pada kekuasaan lebih penting daripada integritas.

Demokrasi pun hanya menjadi panggung sandiwara, di mana setiap aktor membaca skrip yang disusun di luar panggung.

Perlu Sang Fajar untuk Menyinari Gelap

Seorang pemimpin sejati seharusnya berani memutus tali penyandera, betapapun kuatnya tekanan yang datang. Ia harus menjadi fajar di tengah gelap gulita kehidupan rakyat yang kian muak.

Kepemimpinan yang sejati tidak boleh lahir dari rasa takut, ia harus punya keberanian menghadapi risiko demi kebenaran. Sejarah menunjukkan bahwa bangsa besar dibangun oleh pemimpin yang berani menanggung konsekuensi dari kejujurannya.

Namun ketika pemimpin memilih aman dan menyesuaikan ucapannya dengan kepentingan para penyandera, maka yang tersisa hanyalah kekuasaan tanpa wibawa.

Akhirnya, rakyat harus sadar bahwa penyanderaan pemimpin bukan hanya masalah individu, melainkan persoalan sistemik.

Baca juga: Kita Ini Insan, Bukan Seekor Sapi

Selama politik masih bergantung pada uang, patronase, dan kompromi kekuasaan, penyanderaan akan terus terjadi dengan wajah yang berbeda.

Mungkin hari ini tali itu hanya menahan lidah pemimpin agar tidak bicara jujur, tapi besok bisa menahan tangannya agar tidak berbuat adil. Saat itu terjadi, rakyat bukan lagi subjek demokrasi, melainkan penonton yang dipaksa percaya pada sandiwara kekuasaan.

Saat itu terjadi, matilah kesejahteraan di negara demokrasi. Sistem yang katanya lebih berpihak pada rakyat itu.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.


Populer

Rangkuman Terkini Soal Banjir Besar di Sumut, Sumbar, dan Aceh
Tentang Kami
Karir
Kebijakan Privasi
Pedoman Media Siber
Kontak Kami