jurnalisika.id – Fenomena buzzer politik yang merebak dalam ruang digital Indonesia belakangan ini tidak bisa hanya dianggap sebagai persoalan remeh-temeh media sosial. Namun, penting melihatnya sebagai gejala struktural yang menggerogoti fondasi demokrasi.
Mereka hadir sebagai barisan bersenjata narasi, menggemakan pesan-pesan yang menguntungkan penguasa, sembari menekan suara kritis yang lahir dari warga negara.
Kombinasi antara kekuatan modal, teknologi, dan ketidakadilan informasi menciptakan lanskap politik yang timpang, sebuah kondisi yang membuat negara terasa berjalan ke arah yang semakin jauh dari akal sehat publik.
Baca juga: Saat Demokrasi Melahirkan Pemimpin Tersandera, Matilah Kesejahteraan
Fenomena itu memperoleh kekuatannya dari kemampuan menguasai ruang wacana. Alih-alih debat kebijakan yang rasional, percakapan publik justru dipenuhi repetisi slogan yang direkayasa.
Para buzzer memproduksi ilusi bahwa keputusan politik selalu benar, bahkan ketika keputusan tersebut jelas merugikan masyarakat luas. Berbagai studi komunikasi politik menegaskan manipulasi pesan seperti ini merusak ekosistem deliberatif dalam demokrasi, karena publik kehilangan kesempatan untuk menguji gagasan berdasarkan argumen substantif.
Narasi yang telah direkayasa dan disebarkan masif membuat opini publik seolah terbentuk secara alami, padahal hasil dari operasi sistematis.
Buzzer Merusak Demokrasi Digital
Dalam konteks kekuasaan, buzzer memainkan peran sebagai perpanjangan tangan elite. Di samping sebagai kelompok pengguna internet yang ekspresif, buzzer juga menjadi bagian dari strategi komunikasi terkoordinasi.
Tugas utama mereka adalah menggiring persepsi, mengamplifikasi narasi tertentu, dan memadamkan kritik dengan cara apa pun. Ketika nalar dilawan dengan fitnah, ketika keberatan dijawab dengan teror digital, maka demokrasi kehilangan salah satu sendi utamanya yakni ruang aman untuk berpendapat.
Sejak lama para ilmuwan politik mengingatkan bahwa demokrasi hanya dapat bertahan jika warga memiliki kebebasan menyampaikan kritik tanpa takut dibungkam.
Misalnya, Amartya Sen, Ekonom dan filsuf peraih Nobel ini mengatakan “We must remember that democracy is not just about the mechanical act of voting, but also about being open-minded and the freedom to argue and to express your opinion.”
Baca juga: Demokrasi Mancipta Pemerintahan Relasional, Sebabkan Negeri Stagnan
Serangan yang dilakukan para buzzer biasanya menyasar individu yang berani berbeda pendapat. Alih-alih melontarkan bantahan berbasis data atau logika kebijakan, mereka memilih cara-cara kasar, dari penghinaan, tuduhan tak berdasar, bahkan ancaman.
Serangan buzzer umumnya mendiskreditkan seseorang, sehingga menjadi semacam mekanisme psikologis untuk menciptakan efek jera.
Ketika publik menyaksikan seorang akademisi, wartawan, atau aktivis dihajar secara brutal hanya karena melontarkan kritik, banyak orang akhirnya memilih diam. Kebisuan massal seperti ini adalah kerusakan paling serius dalam sebuah negara demokratis.
Kerusakan Tatatan Sosial-Politik Lewat Pesan Buzzer
Pola kerja para buzzer menempatkan mereka sebagai aktor dalam ekosistem disinformasi yang lebih luas. Studi-studi terbaru dalam kajian media menunjukkan bahwa mesin propaganda digital memanfaatkan algoritma platform untuk memperlebar jangkauan pesan, memanfaatkan kecenderungan manusia untuk merespons konten bernada ekstrem.
Semakin provokatif narasinya, semakin jauh pesan tersebut menyebar. Kondisi itu menciptakan spiral informasi yang menyesatkan dan membuat warga kehilangan kemampuan memilah mana fakta dan mana opini yang direkayasa.
Kerusakan tatanan sosial-politik menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan. Ketika informasi diproduksi secara manipulatif, maka warga tidak lagi berada dalam posisi yang memungkinkan mereka membuat keputusan politik secara sadar.
Baca juga: Merawat Kader Ala Don Vito Corleone
Demokrasi menjadi prosedur kosong karena suara rakyat dibentuk oleh ilusi, bukan oleh pemahaman. Kehidupan bernegara kehilangan integritas sebab pemerintah tidak lagi ditantang untuk mempertanggungjawabkan kebijakannya di hadapan publik yang kritis.
Bahaya lain yang mengintai ialah terkikisnya kepercayaan publik. Sekali masyarakat sadar bahwa opini yang berseliweran ternyata merupakan hasil rekayasa kelompok tertentu, mereka kehilangan kepercayaan terhadap seluruh proses komunikasi politik.
Ketidakpercayaan seperti ini sering kali mengarah pada sinisme, dan sinisme adalah musuh terbesar demokrasi. Negara tidak dapat berjalan sehat ketika rakyat menyimpan curiga bahwa setiap pernyataan pejabat hanyalah propaganda yang diperindah.
Belum Terlambat Memperbaiki
Ruang digital idealnya menjadi arena tempat gagasan diuji, bukan ladang pembantaian karakter. Negara yang sehat membutuhkan warga yang mampu berdebat tanpa takut, membutuhkan partisipasi yang jujur, serta membutuhkan informasi yang dapat diuji.
Buzzer menghancurkan semua itu. Mereka memelintir percakapan publik menjadi kompetisi menguasai algoritma, bukan pertarungan gagasan. Mereka menjadikan demokrasi hanya tampak hidup, padahal sedang sekarat dari dalam.
Harapan untuk memperbaiki keadaan tentu masih terbuka, tetapi membutuhkan keberanian politik. Penegakan regulasi terhadap penyebaran disinformasi harus dilakukan tanpa pandang bulu, termasuk ketika operasi serupa dilakukan oleh kelompok yang dekat dengan kekuasaan.
Literasi digital perlu diperkuat agar masyarakat tidak mudah digiring. Media independen juga harus terus diberi ruang untuk bekerja, karena hanya melalui jurnalisme yang bebas publik dapat memperoleh informasi yang jernih.
Negara tidak akan pernah benar apabila suara rakyat diseragamkan melalui intimidasi digital. Demokrasi memerlukan keberagaman opini, memerlukan ruang untuk bertanya, memerlukan keberanian untuk mengoreksi.
Selama buzzer masih menjadi instrumen kekuasaan, selama opini publik masih diarahkan oleh pasukan anonim yang bekerja demi uang, maka negara hanya akan bergerak menjauh dari cita-cita demokratis yang sesungguhnya.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

