Jurnalistika
Loading...

Bahayanya Pemimpin Jika Hanya Menerima Kabar Baik

  • Jurnalistika

    03 Nov 2025 | 10:20 WIB

    Bagikan:

image

Ilustrasi pemimpin hanya menerima kabar baik.

jurnalistika.id – Pemimpin yang hanya menerima laporan positif dari bawahannya menghadirkan risiko serius bagi kualitas pemerintahan, keberlangsungan negara, hubungan dengan rakyat, serta kondisi ekonomi dan sosial.

Gaya kepemimpinan seperti dapat menjadi kelemahan operasional, sekaligus berpotensi menjadi jebakan yang berdampak jauh.

Dalam ranah pengambilan keputusan, distorsi informasi menjadi bahaya pertama. Bila bawahan hanya melaporkan hal‐hal yang “menyenangkan”, maka fakta penting tentang hambatan, kegagalan atau risiko tertutup rapat.

Baca juga: Malang Betul Jadi Guru di Negeri Berhukum Lengkap

Praktik ini menghambat deteksi dini masalah dan menyebabkan keterlambatan dalam respons kebijakan. Dalam institusi publik, mekanisme umpan balik negatif yang tertahan terbukti menjadi hambatan bagi perbaikan kinerja jangka panjang.

Dampak terhadap cara memimpin negara sangat besar. Akuntabilitas melemah apabila pemimpin tidak mengetahui kondisi sesungguhnya di lapangan.

Akibatnya program pemerintah bisa berjalan tanpa evaluasi kritis karena data yang diterima lebih mencerminkan narasi sukses daripada realitas kompleks.

Di sisi lain, kebijakan yang dibuat atas asumsi optimistik tanpa memadai bisa menimbulkan pemborosan anggaran, kegagalan implementasi atau bahkan pelemahan lembaga negara.

Dapat Mengganggu Hubungan Pemimpin dan Rakyat

Hubungan antara pemimpin dan rakyat juga terganggu ketika narasi resmi hanya menampilkan sisi baik. Warga akan semakin skeptis bila realitas di lapangan berbeda dengan yang diungkap oleh pemerintah.

Kehilangan kepercayaan publik muncul karena narasi yang timpang, terlalu mewarnai keberhasilan sambil mengabaikan masalah inti.

Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu apatisme atau resistensi sosial terhadap program pemerintah.

Dari perspektif ekonomi dan sosial, data juga menunjukkan bahwa pandangan optimistik yang tak kritis bisa memperlebar ketimpangan.

Baca juga: Kita Ini Insan, Bukan Seekor Sapi

Menurut rilis resmi Badan Pusat Statistik (BPS), rasio Gini Indonesia tercatat sebesar 0,381 pada September 2024, naik dari 0,379 pada Maret 2024.

Angka tersebut menunjukkan bahwa meskipun ada perbaikan sebelumnya, ketimpangan pengeluaran masih mengalami peningkatan.

Pengabaian data‐negatif atau hambatan nyata dapat turut andil dalam kondisi tersebut. Bila pemimpin tidak mengakses seluruh spektrum informasi, termasuk fakta yang tak nyaman, maka multisektor yang rentan bisa makin tertinggal.

Rentan Terhadap Konflik Internal

Dalam ranah sosial, penelitian tentang kepemimpinan yang menolak umpan balik negatif menunjukkan bahwa organisasi dengan budaya seperti itu rentan terhadap stagnasi dan konflik internal.

Arah kebijakan menjadi lamban menanggapi perubahan lingkungan, sedangkan masyarakat yang merasa tak diwakili atau tak diperhatikan cenderung kehilangan kepercayaan terhadap institusi.

Untuk menghindari bahaya tersebut, diperlukan alternatif gaya kepemimpinan yang lebih terbuka dan responsif.

Pertama, budaya transparansi internal harus dibangun. Bawahan perlu merasa aman melaporkan hambatan tanpa takut dikucilkan atau paling ringan dikritik tanpa solusi.

Insentif organisasi harus menilai keberanian mencatat masalah sama pentingnya dengan pencapaian keberhasilan.

Baca juga: Merawat Kader Ala Don Vito Corleone

Kedua, sistem monitoring dan evaluasi perlu memadukan data kuantitatif dan kualitatif secara rutin, serta melibatkan pengawasan eksternal agar laporan tidak terdistorsi menjadi “hanya kabar baik”.

Ketiga, komunikasi publik harus realistis, pemerintah perlu jujur bahwa kondisi tak selalu mulus, bahwa hambatan ada dan sedang ditangani. Sikap demikian memperkuat legitimasi dan memperdalam kepercayaan.

Terakhir, mekanisme audit kebijakan dan program perlu dijalankan secara independen agar deviasi antara narasi dan realitas bisa cepat dikoreksi.

Kabar Baik Bisa Menjadi Jebakan

Kesimpulannya, gaya kepemimpinan yang hanya menerima laporan positif merupakan jebakan serius bagi efektivitas pemerintahan dan hubungan antara negara‐rakyat.

Ketimpangan ekonomi yang masih mengintai, serta potensi kerentanan kelembagaan, menunjukkan bahwa pemerintahan butuh lebih dari sekadar narasi keberhasilan.

Kepemimpinan yang cerdas adalah yang mampu menghadapi dan menanggapi realitas secara utuh. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemimpin di semua tingkat, nasional, daerah, untuk membuka ruang bagi kabar buruk, agar kebijakan lebih kuat, rakyat lebih percaya, dan negara lebih tangguh dalam menghadapi dinamika zaman.

Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

kepemimpinan

Opini

pemimpin


Populer

Rangkuman Terkini Soal Banjir Besar di Sumut, Sumbar, dan Aceh
Tentang Kami
Karir
Kebijakan Privasi
Pedoman Media Siber
Kontak Kami