jurnalistika.id – Perubahan dalam regulasi ketenagakerjaan telah lama memicu perdebatan, terutama ketika menyangkut hak-hak pekerja. Sejak disahkannya UU Cipta Kerja, kalangan pekerja dan serikat buruh terus menyuarakan keprihatinan mereka terkait berbagai ketentuan yang dinilai berpotensi merugikan.
Setelah melalui proses panjang, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU No.6 Tahun 2023, yang merupakan penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Dalam putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini, terdapat 21 poin penting yang memberikan batasan baru sekaligus penegasan hak bagi pekerja di Indonesia.
Baca juga: Tom Lembong Ajukan Praperadilan, Penetapan Tersangka oleh Kejagung Dianggap Tidak Sah
Putusan ini adalah angin segar bagi kalangan pekerja, yang menantikan perlindungan hukum yang lebih kuat atas hak-hak ketenagakerjaan mereka.
Melalui amar putusan ini, MK tidak hanya menetapkan sejumlah ketentuan inkonstitusional bersyarat, tetapi juga memberikan tafsir ulang pada beberapa pasal untuk mempertegas aspek keadilan bagi pekerja.
Poin-poin Penting Amar Putusan MK
Berikut ini adalah poin-poin utama yang disampaikan MK dalam amar putusannya, yang berpotensi mengubah wajah ketenagakerjaan di Indonesia.
1. Pengaturan TKA dan RPTKA
MK menilai bahwa frasa “Pemerintah Pusat” dalam Pasal 42 ayat (1) harus diartikan sebagai “menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.”
Dengan demikian, pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) hanya bisa dilakukan oleh Menteri Ketenagakerjaan.
Selain itu, Pasal 42 ayat (4) mengatur bahwa TKA hanya bisa dipekerjakan untuk jabatan tertentu dalam waktu terbatas, serta harus mengutamakan tenaga kerja lokal.
2. Batas Waktu PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu)
MK mengubah Pasal 56 ayat (3) yang menetapkan bahwa kontrak kerja untuk pekerjaan tertentu hanya berlaku maksimal 5 tahun, termasuk jika diperpanjang.
Keputusan ini memberikan kepastian hukum bagi pekerja kontrak agar tidak terjebak dalam ketidakjelasan status kerja.
3. PKWT Wajib Tertulis
Pasal 57 ayat (1) mewajibkan perjanjian kerja waktu tertentu untuk dibuat secara tertulis dengan bahasa Indonesia dan huruf Latin. Ini bertujuan agar pekerja dapat memahami isi perjanjian tanpa adanya kendala bahasa atau teknis administratif.
4. Pengaturan Alih Daya (Outsourcing)
Pasal 64 ayat (2) mengatur bahwa Menteri Ketenagakerjaan harus menetapkan jenis dan bidang pekerjaan yang boleh menggunakan sistem alih daya.
Hal ini penting agar perusahaan tidak sembarangan menerapkan alih daya untuk pekerjaan yang sebenarnya bisa diisi oleh tenaga kerja tetap.
5. Ketentuan Cuti
Pasal 79 ayat (2) huruf b menetapkan cuti minimal dua hari untuk pekerja dengan skema lima hari kerja per minggu. Adapun kata “dapat” dalam Pasal 79 ayat (5) dihapus, sehingga cuti tahunan menjadi hak wajib bagi setiap pekerja.
6. Penghasilan dan Upah Layak
Pasal 88 ayat (1) dan ayat (2) menegaskan bahwa upah yang diterima harus mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarga, mencakup kebutuhan pokok seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan.
Penentuan kebijakan upah ini harus melibatkan dewan pengupahan daerah yang memiliki unsur pemerintah daerah.
7. Struktur dan Skala Upah
Frasa “struktur dan skala upah” dalam Pasal 88 ayat (3) huruf b harus bersifat proporsional. Pengusaha diharuskan menyusun struktur upah sesuai dengan kemampuan perusahaan serta produktivitas pekerja, mempertimbangkan masa kerja dan kompetensi karyawan.
8. Upah Minimum Sektoral
MK mengatur dalam Pasal 88C bahwa gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral di tingkat provinsi dan dapat berlaku di tingkat kabupaten/kota.
Hal ini menekankan pentingnya keadilan bagi pekerja di sektor-sektor tertentu yang memiliki kebutuhan khusus terkait standar upah.
9. Variabel Indeks Pengupahan
MK menetapkan bahwa “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat (2) mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Kebijakan ini bertujuan menyeimbangkan kepentingan perusahaan dan pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup layak.
10. Kondisi Ekonomi Tertentu
MK menafsirkan frasa “dalam keadaan tertentu” dalam Pasal 88F untuk kondisi darurat, seperti bencana alam atau krisis ekonomi, yang membutuhkan penyesuaian upah sesuai kebijakan Presiden. Ini memungkinkan fleksibilitas dalam pengupahan saat menghadapi krisis nasional atau global.
11. Kesepakatan Upah di Atas Minimum
Pasal 90A menegaskan bahwa pengusaha dan pekerja atau serikat buruh harus bernegosiasi untuk menentukan upah di atas batas minimum yang berlaku. Kesepakatan ini wajib diperhitungkan dengan kemampuan dan produktivitas perusahaan.
12. Hak Utama Pekerja
Dalam Pasal 95 ayat (3), MK menyatakan bahwa hak pekerja harus diutamakan dalam pembayaran dibandingkan kreditur lainnya. Kebijakan ini memberikan perlindungan lebih bagi hak-hak pekerja ketika perusahaan mengalami kondisi finansial buruk.
13. Partisipasi Aktif dalam Dewan Pengupahan
Pasal 98 ayat (1) menegaskan perlunya peran aktif dewan pengupahan dalam merumuskan kebijakan pengupahan nasional dan daerah. Ini menjadi jaminan bagi buruh untuk menyuarakan aspirasi dalam setiap penentuan kebijakan upah.
14. Penyelesaian Perselisihan PHK
Pasal 151 ayat (3) dan (4) menetapkan bahwa PHK hanya boleh dilakukan melalui kesepakatan antara pengusaha dan pekerja atau serikat buruh, dan jika tidak ada kesepakatan, harus diselesaikan melalui lembaga perselisihan hubungan industrial.
15. Hak THR dan Pesangon
MK memutuskan bahwa frasa “paling sedikit” pada Pasal 156 ayat (2) menjadi kewajiban yang tidak dapat dikurangi. Artinya, THR dan pesangon yang diberikan perusahaan harus memenuhi standar minimum tanpa ada pengurangan.
Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.