jurnalistika.id – Ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia kembali menjadi sorotan setelah serangkaian teror menimpa jurnalis Tempo dan keluarganya.
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Erick Tanjung mengungkapkan bahwa teror yang dialami Tempo bukan hanya menyasar jurnalis, tetapi juga keluarga mereka.
Teror tersebut dialami oleh Francisca Christy Rosana alias Chica, jurnalis yang terlibat dalam program “Bocor Alus” Tempo. Tidak hanya dirinya, ibunya juga mendapatkan ancaman, bahkan akun WhatsApp-nya sempat diretas.
“Teror ini juga menyerang keluarganya Chica, orangtuanya, ibunya juga mengalami teror, diancam dan juga ada sempat diretas, akun WhatsApp ibunya diretas dan tim KKJ sudah membantu untuk memulihkan akunnya,” kata Erick dalam program Sapa Indonesia Malam KompasTV, Minggu (23/3/2025).
Baca juga: 10 Pendemo Tolak UU TNI Malang Hilang, 6 Orang Ditangkap
Selain ancaman dan peretasan, Chica juga menjadi korban serangan siber berupa doksing dan upaya peretasan akun media sosial pribadinya. Erick menilai bahwa rentetan teror ini merupakan aksi yang terstruktur dan sistematis.
“Persoalannya, artinya pelaku merasa punya impunitas, mereka tidak diproses secara hukum, jadi dengan leluasa mereka melakukan teror,” ujarnya.
Paket Teror Kepala Babi dan Bangkai Tikus
Serangan terhadap Tempo bukan hanya melalui ancaman digital. Pada Jumat (21/3), kantor Tempo menerima paket berisi kepala babi yang dikirim oleh pihak tak dikenal. Kejadian ini langsung dilaporkan ke Bareskrim Polri.
Namun, teror tidak berhenti di situ. Sehari setelahnya, Sabtu (22/3), kantor Tempo kembali mendapat kiriman paket berisi enam bangkai tikus yang sudah terpenggal.
Menanggapi kejadian ini, IM57+ Institute menilai bahwa rangkaian teror ini bertujuan untuk membungkam kebebasan pers. Direktur IM57+ Lakso menegaskan bahwa serangan terhadap jurnalis adalah ancaman serius terhadap demokrasi dan transparansi pemerintahan.
“Jangan sampai rangkaian serangan ini tidak terungkap dan terlupakan seiring waktu. Ini akan menjadi preseden yang membiarkan teror terus hadir dalam demokrasi Indonesia,” ucap Lakso.
Ia menambahkan bahwa demokrasi tidak akan berjalan jika jurnalis terus dibungkam.
“Jurnalis adalah pilar penting demokrasi ketika bicara transparansi dan akuntabilitas,” tegasnya.
Polisi Diminta Serius Mengusut
Sementara itu, penasihat ahli Kapolri, Aryanto Sutadi, meminta para saksi untuk aktif melaporkan informasi terkait teror ini kepada kepolisian. Ia juga menegaskan pentingnya penyelidikan hingga ke dalang utama yang memerintahkan aksi tersebut.
“Ini harus dibuktikan siapa yang nyuruh, karena kalau yang nyampaikan itu pasti disuruh doang. Makanya Polri dalam penyidikan harus tuntas, harus sampai siapa yang nyuruh, idenya apa, tujuannya apa,” kata Aryanto.
Bareskrim Polri sendiri telah melakukan olah tempat kejadian perkara di kantor Tempo pada Minggu (23/3). Namun, hingga kini, belum ada perkembangan signifikan terkait identitas pelaku atau dalang di balik teror ini.
Kasus ini kembali mengingatkan bahwa kebebasan pers di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Kekerasan terhadap jurnalis, baik dalam bentuk fisik maupun digital, terus terjadi tanpa penyelesaian hukum yang jelas. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin ancaman terhadap pers akan semakin meningkat di masa mendatang.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

