jurnalistika.id – Saat aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan ribuan pengemudi ojek online (ojol) di berbagai daerah hari ini, Selasa (20/5/2025) sedang berlangsung, muncul fenomena lain di dunia maya.
Tagar #OjolTetapNarik tiba-tiba menjadi trending di media sosial X (dulu Twitter), memantik perdebatan di tengah gelombang protes terhadap aplikator transportasi online.
Berdasarkan pantauan pada pukul 11.34 WIB, tagar tersebut sudah dicuitkan sebanyak 15,1 ribu kali. Isi unggahan dalam tagar tersebut mayoritas berisi ajakan untuk tetap menyalakan aplikasi dan mencari pelanggan, meskipun rekan-rekan seprofesi mereka sedang turun ke jalan.
“Orderan tiap hari, dapur ngebul, demo belum tentu nyalain kompor #OjolTetapNarik,” tulis salah satu akun.
Unggahan serupa juga ramai diisi narasi tentang pilihan masing-masing driver antara mengikuti aksi atau tetap bekerja. Beberapa netizen menyampaikan sikap netral dan menyerukan agar kedua pilihan tersebut tetap dihargai.
Tercium Aroma Manipulasi Opini
Namun, tak sedikit pula yang mencium aroma manipulasi opini. Sejumlah warganet mulai mempertanyakan kemunculan tagar ini yang dinilai terkesan “mengimbangi” narasi besar aksi unjuk rasa.
Sebagian bahkan menduga bahwa tagar tersebut adalah hasil kerja buzzer untuk mendiskreditkan gerakan protes yang sedang berlangsung.
“ternyata ngelawan ojol sampe dibikin buzzernya segala, nih kalo ga percaya liat hastagnya #OjolTetapNarik,” tulis akun lain yang turut meramaikan diskusi.
Baca juga: Tak Hanya di Jakarta, Driver Ojol Juga Demo di Sejumlah Daerah Ini
Aksi demonstrasi sendiri berlangsung serentak di berbagai daerah seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Yogyakarta, Solo, Semarang, hingga sejumlah wilayah di Jawa Barat.
Para pengemudi ojol mematikan aplikasi dan berunjuk rasa menuntut keadilan atas praktik yang mereka anggap melanggar regulasi oleh aplikator sejak tahun 2022.
Koordinator aksi dari Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia menjelaskan bahwa demo ini merupakan bentuk desakan kepada pemerintah dan aplikator agar memperbaiki sistem kerja dan tarif yang mereka nilai merugikan pengemudi.
Lima tuntutan utama disuarakan dalam aksi ini, yaitu: meminta Presiden dan Menteri Perhubungan memberi sanksi tegas kepada aplikator yang melanggar regulasi, mendesak Komisi V DPR RI untuk menggelar RDP gabungan, menetapkan potongan maksimal 10 persen dari aplikator, merevisi sistem tarif penumpang yang dinilai tidak adil, serta menetapkan tarif layanan makanan dan barang secara transparan dengan melibatkan asosiasi dan lembaga konsumen.
Pihak asosiasi juga telah menyerukan kepada masyarakat untuk tidak menggunakan layanan ojol selama aksi berlangsung, sebagai bentuk solidaritas atas perjuangan para pengemudi.
Dinamika di Kalangan Driver Ojol
Meski demikian, kemunculan tagar #OjolTetapNarik menunjukkan adanya dinamika di kalangan pengemudi sendiri. Sebagian memilih tetap bekerja karena alasan ekonomi, sebagian lain memilih turun ke jalan menuntut perubahan.
Perbedaan sikap ini memicu perdebatan terbuka, namun juga menyoroti kenyataan bahwa belum ada satu suara yang solid di antara para driver terkait bentuk perjuangan yang paling efektif.
Di tengah sorotan terhadap tagar tersebut, belum ada pernyataan resmi dari pihak platform atau aplikator mengenai keterkaitan mereka dengan tren yang muncul di media sosial.
Namun, kontroversi soal “buzzer” kembali mencuat, memperkuat dugaan publik bahwa ruang digital kini tak lepas dari manuver politik dan kepentingan bisnis.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pertarungan pengemudi ojol bukan hanya terjadi di jalan raya, tapi juga di lini masa media sosial. Dan dalam era digital seperti saat ini, opini publik bisa dibentuk bukan hanya lewat suara massa, tapi juga lewat trending topic.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.
