jurnalistika.id – Aktivitas pertambangan di gugusan pulau-pulau kecil di Raja Ampat, Papua Barat Daya, belakang terus menjadi perhatian publik.
Baru-baru ini, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengungkap lima temuan penting dari hasil pengawasan langsung terhadap empat wilayah tambang yang dikelola oleh perusahaan swasta maupun anak usaha pelat merah.
Temuan tersebut mencakup indikasi pencemaran, pelanggaran izin, hingga buruknya manajemen lingkungan.
Investigasi ini dipimpin langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dan disampaikan dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (8/6/2025).
Berikut lima temuan utama yang berhasil dihimpun dari hasil pengawasan KLHK.
1. Kerusakan Lingkungan Serius di Pulau Manuran
Pulau Manuran menjadi titik paling krusial dari investigasi KLHK. Pulau kecil seluas 743 hektare ini menjadi lokasi pertambangan PT ASP. Menteri Hanif menyebut, kawasan tersebut sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan lingkungan yang signifikan.
“Memang di pulau ini (Manuran) lebih kecil ya, jadi hanya 743 hektare. Tentu kita bisa membayangkan kalau ini dilakukan eksploitasi, pemulihannya tidaklah terlalu gampang karena tidak ada lagi bahan untuk memulihkan. Ini yang kemudian menjadi perhatian kami untuk melakukan review terkait dengan dokumen lingkungan,” kata Hanif.
Baca juga: KLH Tinjau Raja Ampat, Siap Tempuh Langkah Hukum untuk Tambang Nikel
Salah satu indikasi kerusakan lingkungan yang paling nyata adalah jebolnya kolam pengendapan atau settling pond milik PT ASP. Akibatnya, terjadi pencemaran air laut di sekitar bibir pantai.
“Ini posisinya teman-teman sekalian. Pada saat dilakukan pengawasan memang ada kejadian settling pond dan jebol. Dan ini memang menimbulkan pencemaran lingkungan, kekeruhan pantai yang cukup tinggi. Dan ini tentu ada konsekuensi yang harus ditanggungjawabi oleh perusahaan tersebut,” ujar Menteri Hanif.
Selain itu, PT ASP juga dinilai tidak memiliki manajemen lingkungan yang memadai.
“Jadi terlihat memang berbeda dengan PT yang satunya (PT GN). PT yang ini memang agak beberapa penanganan lingkungannya agak perlu ditingkatkan ya,” ujar Hanif.
“Jadi termasuk manajemen lingkungannya belum dia miliki sehingga kondisi lingkungannya tidak terlalu baik untuk yang berada di PT ASP ini di Pulau Manuran,” tambahnya.
2. Pencemaran dan Penyegelan Tambang oleh Penegak Hukum
KLHK juga mengungkap bahwa tambang PT ASP di Pulau Manuran telah disegel oleh aparat penegak hukum. Proses penambangan dianggap dilakukan tanpa kehati-hatian dan berpotensi menimbulkan pencemaran serius.
“Jadi ini sudah diberikan papan penyegelan dari teman-teman penegakan hukum. Jadi ini agak serius ini kondisi lingkungannya untuk pulau yang ada di Pulau Manuran ini. Yang kegiatan penambangan nikel yang dilakukan di Pulau Manuran ini,” ujar Hanif.
“Selain pulau yang kecil, pelaksanaannya, kegiatan penambangnya kurang hati-hati. Sehingga ada potensi pencemaran lingkungan yang agak serius untuk di Pulau Manuran ini,” imbuhnya.
Masalah lain yang disorot adalah soal persetujuan lingkungan. Dokumen yang dimiliki PT ASP diterbitkan oleh Bupati Raja Ampat pada tahun 2006, namun hingga kini belum diterima oleh KLHK untuk ditinjau ulang.
“Jadi persetujuan lingkungan yang untuk PT ASP ini diterbitkan oleh Bapak Bupati Kabupaten Raja Ampat No. 75B tahun 2006. Jadi sampai sekarang dokumen tersebut belum berada di kami. Kami nanti akan minta untuk kemudian diserahkan kepada kami untuk dilakukan review lebih lanjut,” katanya.
3. Praktik Tambang PT GN Dinilai Sesuai Kaidah, Namun Perlu Pendalaman
Berbeda dengan PT ASP, pengelolaan tambang oleh PT GN di Pulau Gag disebut relatif sesuai dengan prinsip lingkungan. PT GN merupakan anak perusahaan dari BUMN Aneka Tambang (Antam).
“Jadi memang kelihatannya pelaksanaan kegiatan tambang nikel di Gag ini oleh PT GN ini relatif memenuhi kaidah-kaidah tata lingkungan. Artinya bahwa tingkat pencemaran yang tampak oleh mata itu hampir, hampir, hampir tidak anu, tidak terlalu serius,” kata Hanif.
Namun demikian, Hanif mengingatkan bahwa sedimentasi di wilayah itu tetap menjadi perhatian karena dapat mengancam habitat koral yang mengelilingi pulau.
“Karena tentu sedimentasi ini sudah menutupi permukaan-permukaan koral, ada beberapa langkah yang harus kita lakukan. Jadi saya akan menyampaikan bahwa secara umum semua pulau ini diliputi oleh, dikelilingi oleh koral,” ujar Hanif.
Baca juga: Raja Ampat: Surganya Indonesia yang Terancam Rakusnya Manusia
“Koral sebagai suatu habitat yang memang harus kita jaga benar keberadaannya, sangat pentingnya buat kehidupan kita semua, terutama yang bermuara akan nanti kepada di laut. Jadi ini yang kemudian kita nanti perlu dalami lagi,” tambahnya.
PT GN diketahui membuka tambang seluas 187,87 hektare di Pulau Gag, dan termasuk dalam 13 perusahaan yang diperbolehkan melanjutkan kontrak karya pertambangan berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2004.
4. Pelanggaran Izin Kawasan oleh PT KSM di Pulau Kawei
Temuan keempat berkaitan dengan kegiatan pertambangan oleh PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) di Pulau Kawei. KLH menemukan pembukaan lahan seluas lima hektare yang dilakukan di luar izin pinjam pakai kawasan hutan.
“Kemudian berdasarkan kajian digital maka ada kegiatan bukaan lahan yang melebihi dari lokasi pinjam pakai kawasan hutan yang tentu ini berdasarkan persetujuan lingkungan, melanggar persetujuan lingkungan,” ujar Hanif.
“Jadi ada sekitar 5 hektare yang berada di sisi agak kawasannya, itu seluas 5 hektare yang dibuka di luar izin yang diberikan,” tambahnya.
5. Eksplorasi Dihentikan di Pulau Manyaifun dan Batang Pele
Temuan terakhir datang dari aktivitas PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) yang tengah melakukan eksplorasi di dua pulau, yakni Pulau Manyaifun (21 hektare) dan Pulau Batang Pele (2.031,25 hektare). KLHK memutuskan menghentikan aktivitas eksplorasi karena belum ditemukan dampak lingkungan signifikan, namun dianggap perlu dicegah sejak dini.
“Berdasarkan tinjuan lapangan pengawasan lapangan, kegiatannya baru di dalam kegiatan eksplorasi jadi ada pemasangan kegiatan titik-titik board pada 10 titik,” ujar Hanif.
“Ini posisi hasil pengawasan lapangan kita juga telah menghentikan kegiatan eksplorasi yang dilakukan di PT MRP untuk menghentikan kegiatannya lebih lanjut. Jadi karena kegiatannya belum dampaknya terlalu ini, kita hanya menghentikan saja karena belum ada aktivitas apa-apa di kegiatan MRP ini,” imbuhnya.
Hanif menyampaikan, pihaknya akan meninjau kembali semua bentuk persetujuan lingkungan yang telah diterbitkan bagi perusahaan-perusahaan tambang di kawasan Raja Ampat.
“Jadi kita sebutkan bahwa persetujuan lingkungan mestinya kita tinjau kembali atau kita mungkin pertimbangkan memberikan ya, bilamana pertama teknologi penanganannya tidak kita kuasai atau kemudian kemampuan untuk merehabilitasi tidak mampu,” ujar Hanif.
Lima temuan ini menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil Raja Ampat menyisakan persoalan serius di ranah pengelolaan lingkungan hidup. Mulai dari pelanggaran izin, jebolnya kolam pengendapan, hingga pencemaran laut yang mengancam habitat koral, semuanya menjadi catatan penting bagi pengambil kebijakan.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.