Jurnalistika
Loading...

OPINION

Kala Indonesia Hampir Bangkrut di Tangan Soekarno

Indonesia hari ini, dengan segala kemegahan pejabatnya, pernah berada di titik nadir.

  • Umar Batra

    01 Agt 2025 | 08:30 WIB

    Bagikan:

image
Ilustrasi kebangkrutan. (Dibuat menggunakan AI)

Pada era pemimpin pertama Bumi Pertiwi, Indonesia pernah berada di ambang kabangkrutan. Peristiwa yang hampir membuat generasi sekarang tidak bisa melihat pembangunan infrastruktur masif, dan peran strategis di kawasan seperti sekarang.

Krisis saat itu tidak dapat disebut hal biasa, sebab sempat hampir membawa Indonesia kembali ke titik awal. Kisah ini bukan fiksi sejarah, melainkan fakta pahit yang tercatat dalam perjalanan bangsa yaitu kala Indonesia hampir bangkrut di pengujung kekuasaan Presiden Soekarno.

1. Negara dalam Euforia, Rakyat dalam Derita

Pada tahun 1960-an, Indonesia masih berada dalam pelukan Demokrasi Terpimpin. Retorika politik Presiden Soekarno menggema ke seantero negeri, menggelorakan semangat anti-imperialisme dan membanggakan kemegahan negeri sendiri.

Dalam masa inilah lahir proyek-proyek mercusuar seperti Stadion Gelora Bung Karno, Monumen Nasional, hingga Hotel Indonesia. Kelak disebut sebagai simbol kejayaan negara muda yang ingin unjuk gigi di panggung dunia.

Namun, di balik megahnya bangunan-bangunan itu, kondisi ekonomi nasional remuk redam. Untuk membiayai semua proyek dan membayar utang luar negeri sebesar 2,36 miliar dollar AS, pemerintah mencetak uang dalam jumlah masif.

Siapa sangka, kebijakan yang tampak cepat ini justru berujung bencana, hiperinflasi menembus 650 persen, harga kebutuhan pokok melambung tinggi, dan daya beli masyarakat runtuh.

Ekonom dan sejarawan Jan Luiten Van Zanden serta Daan Marks dalam buku "Ekonomi Indonesia 1800–2010: Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan" (2013) menulis, krisis ekonomi ini diperparah oleh melemahnya ekspor dan merosotnya pendapatan per kapita. Negara sebesar Nusantara mendidih dari dalam secara ekonomi, sosial, maupun politik.

2. Retorika Politik Soekarno Membuat Indonesia Nyaris Bangkrut

Situasi kian genting ketika Soekarno melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia. Perang politik itu membebani anggaran negara yang sudah sekarat. Ketidakstabilan domestik dan agresi regional membuat dunia internasional kehilangan kepercayaan terhadap Indonesia.

Majalah The New Yorker dalam edisi 23 November 1968 bahkan secara gamblang menuliskan.

“Akibat Soekarno salah mengurus negara ini masih dalam kondisi bangkrut dan selama beberapa tahun ke depan akan bergantung pada bantuan asing.”

Kondisi Indonesia saat itu memang telah melewati batas. Ekonomi lumpuh, politik mendidih, dan rakyat didera kelaparan. Presiden Soekarno tidak kunjung menemukan jalan keluar.

3. Supersemar: Gerbang Pergantian Kuasa

Tepat 59 tahun lalu, pada 11 Maret 1966, Presiden Soekarno menandatangani secarik dokumen yang kelak mengubah arah sejarah yang masyhur disebut Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Surat itu memberi mandat kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban, Letjen Soeharto, untuk mengendalikan situasi keamanan nasional.

Namun, surat itu bukan hanya soal keamanan. Supersemar menjadi titik balik peralihan kekuasaan. Sejarawan menyebutnya sebagai bentuk kudeta merangkak yang akhirnya menempatkan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia kedua pada 1968.

Tugas pertama Soeharto tak main-main, yakni menyelamatkan negara dari jurang kebangkrutan. Kepercayaan ini seolah membuat Soeharto menjadi Nahkoda kapal raksasa yang hampir tenggelam dimakan lautan.

4. Haluan Baru di Tangan Soeharto

Soeharto mengubah haluan. Dari semula anti-Barat, Indonesia kini membuka lebar-lebar pintu kepada negara-negara Barat. Arah ekonomi pun dibelokkan menuju pendekatan pasar terbuka. Langkah ini bukan keputusan sembarangan.

Ia membentuk tim ekonom muda dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang dikenal sebagai Mafia Berkeley, karena latar belakang pendidikan mereka di University of California, Berkeley.

Mereka menyusun langkah sistematis menyelamatkan keuangan negara. Tugas utamanya adalah meyakinkan dunia bahwa Indonesia masih bisa dipercaya, meskipun label sebagai negara gagal bayar telah melekat.

Usaha itu membuahkan hasil. Pada 1967, terbentuk konsorsium kreditur internasional bernama IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Italia, Bank Dunia, dan negara-negara Barat lainnya. Dana segar pun mulai mengalir ke Indonesia.

Negara ini mendapat napas baru untuk membayar utang, menyelamatkan ekonomi, dan membangun kembali dari reruntuhan.

5. Lolos dari Jerat, Tapi Menyisakan Luka

Ekonomi Indonesia perlahan bangkit. Meski jalan panjang masih terbentang, Soeharto berhasil menyelamatkan negeri dari kebangkrutan total. Suka atau tidak suka, pendekatan ekonomi pintu terbuka ala Orde Baru menyelamatkan Indonesia pada saat-saat kritis.

Namun, babak selanjutnya tidak semulus harapan. Selama tiga dekade kekuasaan Soeharto, masalah baru muncul. Korupsi yang merajalela, ketimpangan yang melebar, dan pembungkaman demokrasi yang mencengkeram.

Tak sedikit orang baik dari kalangan cendikiawan, aktivis, hingga pemerhati HAM yang menyebut era pemimpin Seoharto meredupkan demokrasi. Sebab, orang-orang yang berlainan arah akan mendapat tempat yang 'berdarah.'

Peristiwa 1965–1966 mengajarkan satu hal mendasar, bahwa sebuah negara bisa saja terjerumus dalam krisis karena salah urus, sebesar apa pun semangat dan mimpi yang dimiliki. Pembangunan butuh visi, tapi juga kehati-hatian. Retorika perlu diimbangi kebijakan rasional dan realistis.

Kala Indonesia hampir bangkrut, sejarah mencatat betapa tipisnya batas antara kebanggaan nasional dan kehancuran ekonomi. Dan bangsa yang besar, adalah bangsa yang belajar dari masa-masa tergelapnya.

 

"Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis yang diunggah ke platform terbuka Jurnalistika Community. Tulisan Umar Batra tidak mewakili pandangan dari pihak Jurnalistika Community."


  • Umar Batra

    Hanya sebatas penggemar dunia penulis dan gemar berbisnis

Jurnalistika Community adalah platform terbuka untuk menulis. Semua konten sepenuhnya milik dan tanggung jawab kreator. Pelajari Selengkapnya.

Artikel lain dari Umar

    Kamu suka artikel dari penulis ini? Lihat lagi yang lainnya dari Umar Batra