Jurnalistika
Loading...

OPINION

Pak! Bendera One Piece Bukan Barang Menakutkan

Bapak-bapak pemerintah, kenapa harus takut sama bendera Once Piece dah?

  • Aldiansyah Sikumbang

    08 Agt 2025 | 08:55 WIB

    Bagikan:

image
Ilustrasi bendera One Piece di bawah Merah Putih. (MSN)

Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, jagat maya dan ruang publik dipenuhi oleh satu simbol yang mengundang kontroversi. Tak lain adalah bendera bajak laut Topi Jerami dari anime One Piece.

Bendera berkarakter tengkorak dan bertopi jerami itu berkibar di bawah Merah Putih, bukan untuk menyainginya, melainkan menemani. Aneh bin ajaib, reaksi sebagian aparat dan pejabat pemerintah sungguh mengejutkan.

Dalam beberapa tempat yang diberitakan media-media, aparat melakukan razia, peringatan resmi, bahkan ancaman hukum. Semua ini atas sehelai kain bergambar tengkorak bertopi jerami, simbol dari cerita fiksi.

Namun yang dilawan bukanlah benderanya, melainkan pesan di baliknya. Dan ketika negara mulai takut pada pesan-pesan yang disampaikan rakyat dengan cara damai, maka pertanyaan apa sebenarnya yang sedang dipertahankan oleh negara? tampak relevan.

Lantas, apabila ada reaksi seperti itu, bukankah pantas masyarakat curiga ada semacam ketakutan yang marasuki pemerintah maupun aparat melihat bendera dunia fiksi itu berkibat gagah? Lalu, apa sih yang ditakutkan?

1. Membaca Fenomena Bendera Once Piece

Fenomena pengibaran bendera One Piece tidak bisa dibaca semata sebagai fanatisme fandom atau tren viral musiman. Ia adalah bentuk ekspresi sosial, cara generasi muda menyampaikan kegelisahan mereka terhadap arah negara, melalui simbol yang mereka kenal, cintai, dan percayai.

Kalau disebut sekedar penggemar Monkey D. Luffy, tampaknya terlalu sederhana. Mungkin saja mereka adalah warga negara yang sedang menjewer elite kekuasaan dengan cara yang kreatif, damai, dan menyentuh akar-akar budaya populer.

Lucunya, reaksi sebagian pejabat atas pengibaran bendera ini justru memperlihatkan krisis pemahaman atas dinamika sosial kontemporer. Alih-alih membaca simbol ini sebagai peringatan moral atau alarm sosial, mereka menganggapnya sebagai ancaman.

Padahal, sejarah telah menunjukkan semakin keras pemerintah menekan gerakan simbolik, semakin kuat gaungnya. Melarang, merazia, dan menyita bendera One Piece bukan solusi, justru itu bisa jadi bensin yang menyulut api protes lebih besar.

Sebagaimana dicatat dalam berbagai teori psikologi sosial dan sosiologi budaya, setiap simbol punya daya ledak ketika ia menyentuh urat emosi kolektif masyarakat. Yang oleh sebagian orang dilihat sebagai lelucon, bisa menjadi bahasa protes yang efektif, apalagi jika simbol tersebut tidak menyerang langsung, tetapi mengandung lapisan kritik yang subtil.

Inilah yang terjadi dalam kasus Jolly Roger Topi Jerami.

2. Luffy dan Krunya

Apabila kita masuk ke universe One Piece, Luffy dan krunya bukanlah bajak laut pemangsa. Mereka melawan tatanan dunia yang korup, membantu mereka yang tertindas, dan menjunjung nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan kesetiaan.

Maka ketika bendera bajak laut mereka dikibarkan bersama Merah Putih, itu bukan bentuk penghinaan, tetapi kritik. Kritik atas sistem yang dianggap menjauh dari cita-cita kemerdekaan.

Kritik terhadap aparat yang terlalu sibuk menjaga simbol, tapi abai terhadap substansi. Kritik terhadap pejabat yang lebih takut pada gambar tengkorak daripada kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan yang nyata.

Generasi muda Indonesia tidak kehilangan nasionalisme. Mereka hanya tidak mau lagi dicekoki dengan nasionalisme simbolik yang kosong.

Mereka ingin nasionalisme yang hidup, yang membela rakyat kecil, menegakkan keadilan, dan melindungi kebebasan berekspresi. Jika mereka memilih One Piece sebagai kendaraan ekspresi, itu karena negara gagal menyediakan simbol alternatif yang relevan, jujur, dan inspiratif.

Mereka memilih bendera Luffy karena melihatnya lebih representatif daripada jargon birokrasi yang kaku.

Kita tidak perlu menjadi penggemar manga untuk memahami ini. Cukup menjadi warga negara yang waras dan terbuka bahwa dalam demokrasi, simbol bukanlah musuh.

Yang seharusnya menjadi perhatian bukan kainnya, tapi pesannya. Dan kalau negara merasa terusik, maka pertanyaannya bukan “mengapa mereka mengibarkan bendera itu?” melainkan “apa yang telah negara lakukan hingga rakyat merasa perlu melakukannya?”

3. Ketakutan Sebenarnya

Ada pelajaran berharga dari fenomena ini, bahwa yang semestinya ditertibkan bukan simbol, melainkan sumber keresahan. Es kepal milo pernah viral, tapi lenyap begitu saja karena tidak ada muatan sosial di dalamnya.

Berbeda dengan One Piece, yang membawa narasi kebebasan melawan kekuasaan korup. Narasi ini hidup karena resonansinya nyata dalam realitas kita.

Maka, semakin keras negara menindaknya, semakin besar simpati yang akan mengalir. Seperti teori komunikasi massa menyebutkan: “the Streisand effect” usaha menyensor informasi justru membuatnya semakin viral dan tak terbendung.

Jika saya seorang pejabat, saya tidak akan takut pada bendera One Piece. Saya justru akan bertanya, mengapa rakyat lebih percaya pada simbol bajak laut fiksi daripada pada simbol negara yang selama ini diagung-agungkan?

Itu pertanyaan yang menohok, namun perlu dijawab secara jujur. Karena dalam sistem demokrasi, rakyat tidak harus bicara dengan bahasa yang disetujui penguasa. Mereka berhak berbicara dengan bahasa mereka sendiri selama tidak menindas, tidak merusak, dan tidak membahayakan.

Dan One Piece, sekuat apa pun pengaruhnya, tetaplah fiksi. Ancaman yang sebenarnya bukan datang dari sehelai bendera hitam bergambar tengkorak, tapi dari ketakutan negara menghadapi simbol-simbol alternatif yang tak bisa dikendalikan.

4. Yang Perlu Diketahui

Mengibarkan bendera Topi Jerami bukan tanda pemberontakan. Itu tanda bahwa generasi ini masih peduli. Mereka mungkin sinis terhadap elite, tapi belum menyerah pada republik.

Mereka masih ingin diperbaiki, bukan meninggalkan. Maka daripada merazia simbol, dengarkan pesannya. Daripada marah, bertanyalah dalam: apa yang telah kita abaikan hingga rakyat bicara lewat Luffy?

Itu bukan bentuk pelecehan. Itu jeritan cinta dari mereka yang merasa tak lagi didengar.

"Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis yang diunggah ke platform terbuka Jurnalistika Community. Tulisan Aldiansyah Sikumbang tidak mewakili pandangan dari pihak Jurnalistika Community."


  • Aldiansyah Sikumbang

    Masih belajar, terus belajar, dan tak henti belajar.

Jurnalistika Community adalah platform terbuka untuk menulis. Semua konten sepenuhnya milik dan tanggung jawab kreator. Pelajari Selengkapnya.

Artikel lain dari Aldiansyah

    Kamu suka artikel dari penulis ini? Lihat lagi yang lainnya dari Aldiansyah Sikumbang

    Rekomendasi