Jurnalistika
Loading...

EDUCATION

Pemikiran Barat Hingga Diskriminasi Balanda dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis

Menilik pemikiran barat hingga diskriminasi belanda dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moes. Penasaran gimana? simak yuk!

  • Azizah Suryani

    11 Jan 2024 | 10:55 WIB

    Bagikan:

image
Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. (Dok. Istimewa)

Salah Asuhan merupakan novel karya Abdoel Moeis yang punya ciri khas kolonialisme Belanda dan masih memodifikasi pemikiran masyarakat pribumi di era itu dan jadi kontroversi yang sangat dikhawatirkan.

Konsep Barat-Timur ini membahas tentang hal yang berhubungan pada asosiasi pemikiran hingga peradaban barat serta timur. Saat era kolonial Belanda, istilah Inlander adalah julukan yang dibuat untuk menyebut masyarakat pribumi.

Perlu diketahui pemakaian istilah ini juga berarti membangun identitas dan memperlihatkan adanya isu rasial dan etnis. Pada era kolonial, pemikiran Barat mencemari sebagian masyarakat pribumi.

Bahkan tidak hanya di dalam novel saja, namun pada kehidupan modern kini pun banyak sekali masyarakat Indonesia yang lebih menyukai produk luar negeri dengan mengimpornya dibandingkan membeli produk dalam negeri.

Novel Salah Asuhan punya konstruksi nasionalisme yang tercermin pada ideologi yang ingin diungkapkan pada novel yakni ideologi anti-Barat. Ideologi ini melihat Barat seperti musuh yang menghancurkan entitas dan tatanan Timur.

Nah, kira-kira gimana sih pemikiran barat itu muncul dan diskriminasi apa sih yang didapatkan oleh tokoh dalam novel ini? Simak ulasannya berikut.

1. Judul Novel Merujuk pada Kisah Hidup Tokoh: Membangkitkan Pemikiran Barat bagai Salah Asuhan

Judul novel Salah Asuhan ini merujuk pada kisah hidup Hanafi bahwa metode pendidikan Belanda yang telah membuatnya menjadi orang yang berkhianat terhadap tanah air dan keluarganya. Hanafi menjadi korban percobaan ibunya lantaran sangat percaya dengan metode pendidikan Belanda yang sangat kebarat-baratan.

Namun demikian, Hanafi lah yang mengkhianti bangsanya dengan membagikan kehidupan yang layak untuknya sampai Hanafi dapat mengeyam pendidikan dalam lingkungan bangsa barat.

2. Doktrinisasi Bangsa Barat Kepada Pribumi Melalui Tren Peradaban Eropa

Pada novel Salah Asuhan tokoh Hanafi sebagai karakter mempunyai persepsi yang sudah didoktrin budaya Barat lantaran mengikuti tren peradaban bangsa Eropa. Ia memilih lebih banyak bekerja dan bergaul dengan kalangan bangsa Eropa dengan dibandingan orang minangkabau yang hanya cukup buat kebutuhan saja. 

Hal ini terjadi akibat pemikiran budaya Barat tersebut yang meracuni persepsi Hanafi jadi pemikiran barat, sehingga ia merasa bahwa bekerja dengan bangsa Eropa dan bergaul dengan bangsa Barat lebih bergensi dibandingkan bangsa Timur.

Mengenai hal perkawinan pun pada kala itu, budaya Timur masih kuat dengan pemikiran perjodohan sedangkan budaya Barat bebas dalam mentukan pasangan. Bahkan hal ini terjadi sampai pada masa kini.

Inilah yang membuat Hanafi punya pemikiran yang condong ke Barat dibandingkan ke Timur. Karena baginya ia lebih tertarik dengan budaya Barat yang memiliki aturan hidup tidak terlalu banyak, artinya lebih banyak kebebasan. Hal ini tergambar dalam percapakan di novel sebagai berikut.

“Jadi dengan tidak berpikir panjang anak anda sudah memasukkan surat  berhenti bersama ini, sedang sementara menanti angkatan, sudah empat belas hari lamanya anak anda bekerja sebagai ‘maandgelder’ di kantor BB” (Moeis, 1928: 31)

“Itulah yang kusegankan benar hidup di tanah Minangkabau ini, Bu, di sini semua orang berkuasa, kepada semua orang kita berutang, baik utang uang maupun utang budi. Hati semua orang mesti dipelihara dan laki-laki perempuan itu dipergaduh-gaduhkan dari luar buat menjadi suami istri. Itulah yang menarik hatiku pada adat orang Belanda. Pada kecilnya yang menjadi keluarganya hanyalah;   ayah-bundanya, adik-kakaknya. Setelah ia besar, dipilihnya sendiri buat istrinya; danayah-bundanya, apalagi  mamak  bilainya atau ‘tua-tua di dalam kampung ‘harus menerima saja pilihannya itu jika tidak berkenan boleh menjauh! Dan setelah beristri, bagi orang itu yang menjadi keluarga ialah, istrinya dan anak-anaknya  saja.  Tapi kita di sini kebat-mengebat, takluk-menaklukkan, tanya-menanya dengan tidak ada hingganya. Sebelum  beristri,  dalam  beristri,  hendak  bercerai,  tidak  putus-putuslah  kita dari  pencampuran  orang-orang  lain  yang  belum  tentu  berhati  tulus  kepada kita” (Moeis, 1928: 31)

Percakapan tersebut menggambarkan bagaimana Hanafi menjadi karakter yang telah tercemar dengan pemikiran Barat.

3. Ingin Menyepadankan Diri dengan Bangsa Eropa, Namun Mendapatkan Diskriminasi oleh Bangsa Barat

Perlu diketahui apabila ingin terus menyepadankan diri hingga pemikiran terhadap konsep pemikiran bangsa Barat bukan hal yang wajar, karena bangsa Barat akan terus mendiskriminasi bangsa Timu. 

Bahkan, walaupun karakter Hanafi sangat kuat untuk mencoba menyepadankan diri dengan menikahi perempuan Belanda yakni tokoh Corrie, tetap saja ia tidak dianggap oleh bangsa Barat.

Diskriminasi yang dilakukan bangsa Barat terhadap bangsa Timur dalam novel ini dapat disebut dengan diskriminasi ras atau bangsa. Lantaran bangsa pribumi, tidak pantas, tidak layak dan tidak sederajat untuk menikah dengan bangsa Barat, lantaran komposisi yang diwujud oleh bangsa Barat merupakan penaklukan atau superior.

Terdapat dalam novel kutipan seperti berikut.

“Jika dia datang dari sini tidak membawa nyonya sebangsa dengan dia, tidak dipandang terlalu hina. Jika nyai itu beranak, pada pandangan orang Barat itu, sudahlah ia berjasa besar tentang memperbaiki bangsa dan daerah di sini. Tapi lain sekali keadaannya dengan pada pertimbangan orang Barat itu, kalau seorang Nyonnya Barat bersuami, bahkan beranak dengan orang di sini. Terlebih dahulu nyonya itu dipandang seolaholah sudah menghina dirinya sendiri sebagai bangsa Barat” (Moeis, 1928: 21).

“Mula-mula Hanafi dan Corrie menjadi lid daripada kumpulan pemain tennis yang terdiri dari pegewai-pegawai Kantor Gufermen di Betawi. Sekalian kawan-kawan itu menunjukkan adat yang tertib kepada mereka: seorang pun tak ada yang menghinakannya, tapi sementara itu mereka beras tersisih dari pergaulan yang banyak”(Moeis, 1928: 146).

Kutipan di atas menunjukkan novel berisi faktor diskriminasi yang cukup ekstensif, baik dari faktor fisik ataupun psikis. Selain itu, kutipan di atas juga merupakan wujud diskriminasi saat seorang wanita Belanda menikah dengan pria pribumi, wanita itu akan dianggap mencela diri sendiri dan tidak akan dianggap lagi bagian dari bangsa Belanda ataupun bangsa Barat.

Hal ini menjadi penolakan oleh postkolonialisme lantaran oposisi biner serta hegemoni laki-laki dengan perempuan. Bahkan sebelum menikah dengan Corrie saja, Hanafi selalu mendapatkan diskriminasi dari bangsa Barat, yakni pengucilan dari bangsa Eropa hingga Corrie. Hingga setelah menikah pun diskriminasi yang diterima oleh Corrie dan Hanafi dikucilkan dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari.

4. Adanya Diskriminasi Sesama Ras Apabila Menikahi Pribumi

Diskriminasi tehadap Hanafi dan Corrie tidak berhenti sampai setelah mereka cerai. Akan tetapi, tetap berlanjut walaupun mereka telah bercerai, diskriminasi yang didapatkan oleh mereka bahkan semakin banyak dan semakin tajam.

Hanafi dan Corrie berada di dalam kekosongan identitas. Misalnya Corrie, secara otomatis sudah melepaskan identitasnya sebagai kaum Barat karena telah menikah dengan Hanfi orang bumiputra, sedangkan Hanafi sudah melepaskan identitasnya sebagai bumiputra untuk menjadi orang Eropa, walaupun dalam kenyataanya Hanafi tidak akan pernah bisa menjadi orang Eropa.

Nah, gimana teman-teman setelah mambaca ulasan ini? Malang sekali bukan tokoh dalam novel Salah Asuhan ini yakni Hanafi dan Corrie?

Bahkan karena cinta saja mereka terkena dampak dari diskriminasi bahkan dibuang dari bangsanya sendiri, gimana kamu yang cuma HTS ups!

Perlu diketahui bahwa para era penjajahan bangsa Barat sangat enggan untuk mengatakan setara dengan pribumi karena bagi mereka kedudukan mereka tetap berada dalam tahta tertinggi meskipun para pribumi pada era itu ingin menyepadankan diri dengan bangsa Barat. 

Nah,  novel ini tidak hanya membahas mengenai diskriminasi dan pengaruh pemikiran barat pada pribumi, ada banyak hal yang mesti digali lagi oleh pembaca, untuk itu sangat disarankan untuk membaca bukunya, ya! Semoga bermanfaat.


  • Azizah Suryani

    Penulis Buku Puisi "Seratus Dua puluh Hari" Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jurnalistika Community adalah platform terbuka untuk menulis. Semua konten sepenuhnya milik dan tanggung jawab kreator. Pelajari Selengkapnya.

Artikel lain dari Azizah

    Kamu suka artikel dari penulis ini? Lihat lagi yang lainnya dari Azizah Suryani

    Rekomendasi