Tidak dapat kita sangka, tepat pada tiga tahun lalu, Minggu 19 Juni 2020 sang maestro besar sastra kebanggaan Tanah Air tercinta Republik Indonesia, Sapardi Djoko Damono atau karib pula ditelinga dengan singkatan SSD menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Eka, Tangerang Selatan.
Kepergian sang maestro ini membawa duka yang cukup dalam dan meninggalkan banyak kenangan mendalam bagi penikmat sastra dan puisi.
Sapardi Djoko Damono adalah sastrawan kelahiran Surakarta pada tanggal 20 Maret 1940. Sosok yang juga akrab disapa Eyang Sapardi pun adalah seorang pujangga, sastrawan, dekan, serta Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia pada periode 1995—1999.
Beliau dikenal sebagai seorang sastrawan hingga maestro sastra karena sepanjang kariernya, beliau menghasilkan berbagai karya puisi hingga novel yang sukses digemari banyak pembaca.
Untuk itu, mari mencari tahu apa makna tersirat yang terdapat dari salah satu karya Sapardi Djoko Damono yakni dalam Dukamu Abadi dalam ulasan berikut.
1. Bertengger di antara 42 puisi lainnya dalam buku pertama antologi puisi 'Dukamu Abadi'
Salah satu yang menarik pada buku antologi puisi SDD adalah yang berjudul Duka-Mu Abadi. Karya ini merupakan salah satu puisi dari tulisan tangan Eyang Sapardi Djoko Damono yang bertengger di antara 42 puisi lainnya dalam buku pertama antologi puisi Duka-Mu Abadi yang terbit pada tahun 1967—1968.
Selain itu, sang maestro ini juga menulis antologi lainnya seperti Yang Fana Adalah Waktu, Manuskrip Sajak Sapardi, dan yang paling terkenal adalah Hujan Bulan Juni.
Eyang Sapardi kerap kali ditanya mengapa judul antologi karyanya Hujan Bulan Juni. Eyang Sapardi pun menjawabnya dengan lugas.
“Kalau bulan Desember itu nanti tidak ada artinya. Tidak ada yang nanya.” katanya saat pelucuran buku Hujan Bulan Juni.
2. Terdapat makna duka perihal "kepiluan yang ditinggalkan" pada puisi 'Berjalan di Belakang Jenazah'
Dalam puisi Duka-Mu Abadi terdapat bagian puisi yang berjudul Berjalan di Belakang Jenazah. Bait puisi tersebut dapat dikaitkan dengan kepergian sang maestro sastra Indonesia ini.
Hampir seluruh penikmat sastra, bahkan keluarga yang ditinggalkan semua melangkah demi selangkah di belakang keranda jenazah beliau untuk melepas beliau untuk yang terakhir kalinya. Seperti yang termuat pada puisi di bawah ini.
Berjalan di Belakang Jenazah
Berjalan di belakang jenazah angin pun reda
Jam mengerdip
Tak terduga betapa lekas
Siang menepi, melapangkan jalan dunia
Di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
Di atas: matahari kita, matahari itu juga
Jam mengambang di antaranya
Tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
Dalam puisi di atas terdapat makna terselip yang dituliskan dalam puisi tersebut. Makna dari puisi tersebut yakni terdapat duka di balik kepiluan yang ditinggalkan yakni tentang perenungan mengenai kematian yang sudah pasti akan menghampiri kita.
Tidak hanya soal duka saja, di sini terdapat pada bagian yang menarik yakni “berjalan di belakang jenazah angin pun reda” yang memberikan makna dalam ketika mengantarkan jenazah sampai ke peristirahatan terakhirnya dengan keadaan entah melamun atau bahkan merenung tentang kehidupan jenazah sebelum menghadapi sebuah kematian.
3. Belajar mengenal ikhlas melalui puisi Berjalan di Belakang Jenazah
Dengan begitu, jika disimpulkan dari puisi Berjalan di Belakang Jenazah memberikan makna mendalam yakni ketika sesuatu yang tidak pernah bisa diduga atau kenyataan bahwa kita harus melepas seseorang yang kita sayangi ketika usianya di dunia sudah usai.
Mengiringinya sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya, seakan-akan dunia kita berhenti sementara meskipun jam dinding terus berputar. Seperti pada bagian “siang menepi, melapangkan jalan dunia” menjelaskan bahwa ketika akhir dari usia seseorang telah usai.
Jalan dunia “jadi lapang” artinya bila seseorang pergi untuk selama-lamanya kita harus memiliki kelapangan hati yang abadi, mungkin dapat dikatakan mengikhlaskan.
4. 4. Alarm kematian dibalik puisi 'Berjalan di belakang Jenazah' pada antologi puisi 'Dukamu Abadi'
Selain itu, dalam puisi ini terdapat sebuah pelajaran penting yakni merenungkan tentang kematian yang sudah pasti akan datang pada waktunya masing-masing. Tidak ada yang tahu, kapan waktu itu akan tiba menghampiri, yang jelas ketika usia belum berakhir maka perbanyak ibadah.
Lalu, setelah mengantarkan jenazah, kesadaran apa yang akan didapatkan? Apakah kehampaan, penyesalan, atau bahkan meredup sekejap lalu kembali bangkit untuk meneruskan hidup tanpa orang yang disayang?
Seperti yang telah dijelaskan di atas mengenai kaitan dengan kepergian sang maestro sastra ini, seakan-akan memang Eyang Sapardi mengetahui bahwa ketika ia akan pergi untuk selama-lamanya dan hampir seluruh Indonesia tidak menduga akan pergi secepat itu.
Kemudian kepergiannya diiringi dari orang-orang dicintai berjalan di belakang dengan keadaan entah sedih, entah menunduk mengenang, yang jelas semua harus bisa mengikhlaskan orang yang dicintai dan melanjutkan kembali jalan hidup sampai waktu menjemput.
Semoga makna dan pelajaran dalam puisi “Berdiri di Belakang Jenazah” yang termuat di dalam buku Duka-Mu Abadi yang ditulis oleh Eyang Sapardi bisa bermanfaat untuk pembaca.
- AS
Penulis Buku Puisi "Seratus Dua puluh Hari" Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Artikel lain dari Azizah
Rekomendasi
Opinion28 Agt 2025Seolah-olah Mereka Paham Anarkis
Opinion08 Agt 2025Pak! Bendera One Piece Bukan Barang Menakutkan
Opinion01 Agt 2025Kala Indonesia Hampir Bangkrut di Tangan Soekarno
Ragam01 Agt 20256 Cara Ampuh Bikin Pasangan Luluh Ketika Sedang Emosi
Opinion15 Jul 2025Omong Kosong Pendidikan Gratis di Negeri Seribu Janji Manis
Opinion27 Feb 2025Perempuan: Tubuhku, Pakaianku, Adabku
Movie12 Feb 20256 Film Hot China Nuansa Jadul, Cocok Temani Kesendirian
Education13 Jan 2025Menilik Mesin Biodiesel Rancangan Mahasiswa Teknik Kimia Unpam: Keunggulan dan Cara Kerjanya
Opinion02 Jan 2025Orang-orang Goblok di Jalan
Opinion30 Des 20242025 Tiba, Masih Pentingkah Organisasi Bagi Mahasiswa?
