jurnalistika.id – Gugusan Raja Ampat berdiri bak mahkota zamrud di atas laut biru kristal yang menjadi pesona timur jauh Nusantara. Alamnya yang molek adalah kebanggaan Indonesia, sebab hanya ada satu di dunia.
Hutan tropis yang masih ‘suci’ membentuk pemandangan yang mustahil membuat mata berpaling. Terlebih Hamparan karst yang menjulang dan laut yang menjadi rumah bagi 75 persen spesies terumbu karang dunia.
Baca juga: Bahlil Soal Batalnya Tarif Listrik 50% Juni 2025: Saya Tidak Tahu
Tak heran, Raja Ampat menjadi destinasi impian penggila alam. Bukan hanya dari Indonesia, melainkan dari mancanegara, sebab itu tak berlebihan pula menyebut Raja Ampat sebagai “surganya” Indonesia.
Namun, surga ini tengah goyah. Hanya dalam hitungan tahun, ketenangan alam dan keseimbangan hayatinya mulai retak. Bukan karena gempa bumi, tetapi oleh kerakusan manusia atas nikel.
Ancaman Menyatukan Suara
Tagar #SaveRajaAmpat kini menggema di media sosial, seiring meningkatnya kekhawatiran akan ekspansi industri tambang nikel di kawasan yang dijuluki The Last Paradise on Earth.
Berdasarkan pantauan jurnalistika.id per Kamis (5/6/2025) pukul 10.06 WIB, tagar #SaveRajaAmpat telah disuarakan oleh sekitar 40,7 ribu cuitan di X (dulunya Twitter).
Seruan tersebut juga menjadi salah satu terbanyak di Google Trending. Hal itu memperlihatkan betapa isu ancaman terhadap keindahan alam tersebut sangat di khawatirkan.
Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Berdasarkan pantauan Greenpeace, aktivitas penambangan sudah menjamah beberapa pulau kecil di Raja Ampat seperti Pulau Gag, Kawe, dan Manuran.
Padalah, pulau-pulau it umenurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 seharusnya masuk kategori kawasan konservasi dan tidak boleh dijadikan lokasi pertambangan.
Ironisnya, lebih dari 500 hektare hutan alami sudah hilang. Dampaknya terasa langsung, limpasan sedimen dari lahan tambang mengalir ke perairan pesisir, mengaburkan kejernihan laut, memicu sedimentasi, dan mengancam terumbu karang yang selama ini menjadi andalan ekowisata dan sumber kehidupan masyarakat adat.
Suara Aktivis Lingkungan
“Raja Ampat sedang dalam bahaya karena kehadiran tambang nikel di beberapa pulau, termasuk di kampung saya di Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Tambang nikel mengancam kehidupan kami… mengubah kehidupan masyarakat yang sebelumnya harmonis menjadi berkonflik,” tegas Ronisel Mambrasar, aktivis Aliansi Jaga Alam Raja Ampat.
Manyaifun dan Batang Pele, dua pulau kecil yang hanya berjarak 30 kilometer dari ikon wisata Piaynemo, kini masuk dalam peta rawan ekologi.
Bukan hanya karena aktivitas tambang di daratan, tapi juga akibat lalu-lintas kapal tongkang pengangkut nikel yang bisa menghancurkan karang.
Baca juga: 31 Makam Keramat Palsu di Serang Dibongkar, Diduga Jadi Lahan Bisnis Pesugihan
Padahal, ekosistem laut Raja Ampat tidak tergantikan. Selain 1.400 jenis ikan karang dan 700 jenis moluska, wilayah ini juga menjadi rumah bagi pari manta (Mobula birostris) yang langka dan hanya bisa dijumpai di beberapa titik di dunia.
Penolakan terhadap tambang nikel ini disuarakan secara damai oleh para aktivis lingkungan, termasuk Iqbal Damanik dari Greenpeace Indonesia.
Dalam aksinya di acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025, mereka membawa pesan kuat: “What’s the True Cost of Your Nickel?” dan “Nickel Mines Destroy Lives”.
Pesan ini bukan retorika kosong, melainkan seruan agar pembangunan tidak membabi buta atas nama hilirisasi dan ekonomi global.
Menurut Iqbal, aktivitas tambang ini bisa mengancam keanekaragaman hayati dan merusak sektor ekowisata yang bergantung pada keindahan alam Raja Ampat.
Ia mengingatkan bahwa perluasan tambang justru akan menghancurkan kekayaan hayati yang tidak dapat direproduksi.
Greenpeace bahkan meminta Raja Ampat dikecualikan dari ekspansi tambang nikel, mengingat kawasan ini telah ditetapkan sebagai bagian dari jaringan UNESCO Global Geopark sejak 2020.
Penetapan tersebut adalah butkti pengakuan bahwa Raja Ampat merupakan salah satu benteng terakhir keanekaragaman hayati dunia.
Persoalan Pemerintah Setempat
Namun, persoalan tak berhenti di situ. Di balik ekspansi tambang ini, ada tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah. Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, mengeluhkan bahwa “97 persen Raja Ampat adalah daerah konservasi, sehingga ketika terjadi persoalan pencemaran lingkungan oleh aktivitas tambang, kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena kewenangan kami terbatas.”
Ia menegaskan bahwa izin tambang dikeluarkan dari Jakarta. Sementara daerah tidak punya ruang intervensi meskipun dampaknya dirasakan langsung oleh warga setempat.
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu, saat ini terdapat dua perusahaan tambang utama yang beroperasi di wilayah itu.
Keduanya adalah PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining. Kedua perusahaan tersebut memiliki izin usaha sejak wilayah itu masih menjadi bagian dari Provinsi Papua Barat.
Selain mereka, ada pula perusahaan lain yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejak sebelum terbentuknya Papua Barat Daya.
Paradoks Kampanye Ramah Lingkungan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Menteri Bahlil Lahadalia menyatakan akan mengevaluasi izin perusahaan tambang yang beroperasi di Raja Ampat.
Namun sejauh ini, belum ada langkah tegas untuk menghentikan operasi tambang yang telah menyebabkan kerusakan ekologis.
Ketika industri menuntut nikel demi baterai dan kendaraan listrik yang katanya “ramah lingkungan”, masyarakat Raja Ampat dan alam sekitarnya justru membayar harga yang mahal.
Raja Ampat bukan sekadar objek ekonomi. Ia adalah ekosistem, rumah, dan warisan masa depan yang seharusnya dilindungi, bukan ditambang.
Raja Ampat bisa jadi wajah Indonesia di mata dunia. Tapi wajah itu perlahan-lahan tercoreng oleh kerakusan dan kelalaian.
Jika “paradise” ini benar-benar hilang, maka itu bukan karena alam gagal menjaga dirinya, melainkan karena manusia terlalu serakah untuk tahu kapan harus berhenti.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.