jurnalistika.id – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998 hanyalah rumor memicu kontroversi.
Pernyataan itu disampaikan Fadli dalam wawancara bersama jurnalis senior Uni Zulfiani Lubis yang ditayangkan melalui kanal YouTube IDN Times pada Rabu (11/6/2025).
“Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan, ada enggak di dalam buku sejarah itu?” kata Fadli dalam rekaman video tersebut.
Ia menyebut penulisan ulang sejarah perlu dilakukan untuk mengklarifikasi berbagai hal yang menurutnya selama ini dianggap fakta, padahal belum tentu benar.
Baca juga: Soal Usut Pelanggaran Tambang Raja Ampat, Kejagung Masih Tunggu Laporan
Mantan Wakil Ketua DPR itu mencontohkan kasus kekerasan seksual Mei 1998 sebagai bagian dari narasi yang menurutnya patut dipertanyakan.
“Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka (penulis ulang sejarah) tidak bisa buktikan,” ungkapnya dalam wawancara yang sama.
Tanggapan Komnas HAM dan Temuan TGPF Soal Perkosaan 1998
Pernyataan Fadli menuai tanggapan keras dari berbagai kalangan, terutama pegiat hak asasi manusia. Data resmi yang dirilis Komnas Perempuan menunjukkan, hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada 23 Juli 1998 menemukan adanya pelanggaran HAM berat, termasuk 85 kasus kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998, dengan 52 di antaranya merupakan kasus pemerkosaan.
“Temuan tersebut telah disampaikan langsung kepada Presiden BJ Habibie dan menjadi dasar pengakuan resmi negara terkait fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keppres No. 181 Tahun 1998,” demikian pernyataan lembaga tersebut.
Baca juga: Cinta Laura Murka Atas Tambang Liar di Raja Ampat
TGPF menemukan bahwa kekerasan seksual terjadi di berbagai kota seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya. Bentuk-bentuknya berbeda mulai dari pemerkosaan, pemerkosaan disertai penganiayaan, penyerangan seksual, hingga pelecehan seksual.
Dalam laporan resminya, TGPF menyebut sebagian besar kasus perkosaan merupakan gang rape yang dilakukan di hadapan orang lain dan berlangsung di berbagai lokasi, seperti rumah tinggal, jalan umum, hingga tempat usaha.
Hasil verifikasi TGPF mencatat 52 korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 korban penyerangan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.
Selain kejadian selama kerusuhan 13–15 Mei, TGPF juga menerima laporan kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan sesudahnya, termasuk ratusan kasus di Medan pada 4–8 Mei, serta insiden lain yang terjadi di Jakarta dan Solo pada Juli 1998.
TGPF menyimpulkan bahwa peristiwa kekerasan seksual itu tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-politik nasional saat itu, mulai dari Pemilu 1997, penculikan aktivis, hingga tertembaknya mahasiswa Trisakti.
Kendati sulit memperoleh data yang akurat akibat trauma korban dan minimnya pelaporan, TGPF menyatakan bahwa temuan tersebut cukup menjadi dasar pengakuan negara atas terjadinya kekerasan seksual dalam tragedi tersebut.
Pernyataan Fadli Zon, yang kini menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, kembali membuka luka lama dan menuai tuntutan klarifikasi lebih lanjut atas posisinya sebagai pejabat negara yang menyangkal data resmi negara tentang pelanggaran HAM di masa lalu.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini.

