jurnalistika.id – Industri tekstil di Indonesia kehilangan salah satu pemain terbesarnya. PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan garmen raksasa yang pernah berjaya di Asia Tenggara, resmi menutup seluruh operasionalnya mulai 1 Maret 2025.
Keputusan ini menandai akhir dari perjalanan panjang perusahaan yang sempat menjadi ikon industri tekstil nasional. Sebanyak 10.665 karyawan Sritex Group terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, menyusul putusan pailit yang diketok Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024.
Sritex mengalami masa sulit dalam beberapa tahun terakhir, terutama akibat krisis keuangan yang semakin memburuk. Perusahaan ini gagal memenuhi kewajibannya kepada para kreditur setelah gagal bayar utang sindikasi sebesar US$350 juta (Rp5,79 triliun) pada 2021.
Baca juga: Upaya Penyelamatan Sritex, BNI Koordinasi dengan Pemerintah Lakukan Ini
Upaya restrukturisasi keuangan yang diajukan saat itu justru memicu gelombang gugatan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dari berbagai pihak, termasuk perbankan dan mitra bisnisnya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo, Sumarno, mengonfirmasi bahwa seluruh karyawan Sritex resmi terkena PHK sejak Rabu (26/2/2025), dengan hari kerja terakhir pada Jumat (28/2/2025).
“Setelah dilakukan perundingan, sudah menemui titik temu. Yang intinya PHK, setelah diputuskan tanggal 26 Februari PHK, namun untuk bekerja sampai tanggal 28, sehingga off tanggal 1 Maret. Puasa awal sudah berhenti total (PT Sritex), ini jadi kewenangan kurator,” ujar Sumarno, Kamis (27/2).
Gagal Keluar dari Krisis Keuangan
Masalah keuangan Sritex sudah mulai terlihat sejak 2021, ketika perusahaan pertama kali mengalami gagal bayar utang. Situasi ini membuat para kreditur kehilangan kepercayaan dan berujung pada permohonan PKPU di Pengadilan Niaga Semarang pada 19 April 2021.
Setelah melalui proses panjang, pengadilan akhirnya menetapkan Sritex dalam status PKPU dengan total tagihan sekitar Rp12,9 triliun.
Dalam proses tersebut, Sritex mencoba mengajukan rencana perdamaian yang akhirnya disetujui oleh para kreditur pada Januari 2022, dan disahkan melalui putusan homologasi.
Baca juga: Terungkap! Utang Sritex Paling Banyak Ternyata ke Bank Ini
Namun, dalam dua tahun setelah kesepakatan itu, Sritex gagal memenuhi komitmennya untuk melunasi kewajiban kepada kreditur. Hal ini membuat beberapa pihak mengajukan permohonan pembatalan homologasi, yang akhirnya dikabulkan oleh pengadilan.
Pengadilan Niaga Semarang pun akhirnya memutuskan Sritex dalam status pailit pada 21 Oktober 2024, setelah mempertimbangkan berbagai faktor termasuk kelalaian perusahaan dalam memenuhi kewajiban pembayaran.
“Jumlah total PHK 10.665 orang,” bunyi keterangan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), dikutip Jumat (28/2).
Rincian PHK massal ini terdiri dari:
- PT Sritex Sukoharjo: 8.504 karyawan
- PT Primayuda Boyolali: 956 karyawan
- PT Sinar Pantja Jaya Semarang: 40 karyawan
- PT Bitratex Semarang: 104 karyawan
PHK ini dilakukan secara bertahap. Pada Januari 2025, Sritex lebih dulu merumahkan 1.065 karyawan, yang berasal dari anak usaha PT Bitratex Semarang.
Kemudian, pada Februari 2025, jumlah PHK meningkat drastis menjadi 9.604 orang, termasuk dari unit-unit produksi utama Sritex.
Upaya Hukum Terakhir yang Gagal
Sritex sebenarnya tidak tinggal diam menghadapi status pailitnya. Setelah upaya kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung (MA), perusahaan mengajukan peninjauan kembali (PK) sebagai langkah hukum terakhir.
Namun, hingga saat ini, belum ada tanda-tanda bahwa permohonan tersebut akan membawa hasil yang berbeda.
Baca juga: Setumpuk Masalah Keuangan Sritex Sejak 2021
Di sisi lain, Sritex sempat menggugat PT Indo Bharat Rayon, yang sebelumnya masuk dalam daftar kreditur. Dalam gugatannya, Sritex meminta agar status kreditur Indo Bharat Rayon dibatalkan.
Namun, permohonan ini ditolak oleh Pengadilan Niaga Semarang, dan keputusan tersebut diperkuat oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi.
General Manager Sritex Group, Haryo Ngadiyono, mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu hasil sidang terakhir terkait penyelesaian aset dan pembayaran kepada kreditur.
“Kita tunggu hasil sidang di PN Semarang 28 Februari saja dulu,” kata Haryo saat dihubungi, Rabu (26/2).
Akhir Era Sritex, Dampak Besar bagi Industri Tekstil Nasional
Sritex dikenal sebagai salah satu eksportir tekstil terbesar di Asia Tenggara, dengan produk yang diekspor ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Timur Tengah.
Perusahaan ini juga memiliki kontrak penyediaan seragam militer untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia, Jerman, Malaysia, dan beberapa negara di Timur Tengah.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, industri tekstil nasional menghadapi tekanan besar akibat persaingan global, melemahnya daya beli, hingga lonjakan impor tekstil dari China.
Baca juga: Rupanya Ini Kesalahan Fatal Sritex yang Bikin Perusahaan Pailit
Sritex, yang semula dianggap mampu bertahan dari badai krisis, akhirnya tak kuasa menahan tekanan finansial yang terus meningkat.
Penutupan total Sritex menjadi pukulan telak bagi perekonomian lokal di Sukoharjo dan sekitarnya, mengingat ribuan tenaga kerja bergantung pada industri ini.
Banyak karyawan yang kini harus mencari pekerjaan baru di tengah kondisi pasar kerja yang belum sepenuhnya pulih.
Industri tekstil Indonesia menghadapi tantangan baru. Kini, para pemain tekstil lainnya harus berjuang untuk tetap bertahan di tengah kondisi pasar yang semakin kompetitif.
Ikuti dan baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini