jurnalistika.id – Film Bila Esok Ibu Tiada sedang ramai dibahas warganet di media sosial setelah tayang di Bioskop pada Kamis (14/11/2024). Karya Rudi Soedjarwo mencuri perhatian lewat kisahnya yang membuat tidak sedikit penonton meneteskan air mata.
Oka Aurora menjadi sosok di balik penggarapan naskah film Bila Esok Ibu Tiada. Para pemeran yang digandeng pun tidak sembarangan, mulai dari aktor Kawakan Fedi Nuril hingga aktris senior Christine Hakim.
Kisah dari film ini memperlihatkan betapa pentingnya sosok Ibu dalam sebuah keluarga, terlebih sudah ditinggalkan lebih dulu oleh sang ayah sebagai kepala keluarga. Ada banyak konflik hingga cerita menyayat hati yang ditampilkan.
Baca juga: Sinopsis Gladiator II: Pertaruhan Kehormatan di Koloseum
Tak hanya itu, Bila Esok Ibu Tiada pun memberikan pelajaran penting soal hidup kepada para penontonnya. Apa saja itu? (Perhatian: Ulasan ini mungkin berisi spoiler)
5 Pelajaran Hidup dari Film Bila Esok Ibu Tiada
Berikut setidaknya ada lima pelajaran berharga yang dapat diambil dari film ini berdasarkan kisah yang ditampilkan.
1. Peran Sentral Ibu dalam Keluarga, Lebih dari Sekadar Kehadiran
Christine Hakim, melalui perannya sebagai Rahmi, memerankan sosok ibu yang tidak hanya mencintai, tetapi juga menopang keluarga yang tengah goyah.
Sejak kepergian Haryo (Slamet Rahardjo), Rahmi harus menghadapi dinamika empat anaknya yang mulai renggang: Ranika, Rangga, Rania, dan Hening.
Film ini mengingatkan bahwa kehadiran seorang ibu lebih dari sekadar keberadaan fisik, melainkan pilar yang menjaga keluarga tetap berdiri kokoh.
Salah satu adegan paling menyentuh adalah ketika Rahmi, meski terlupakan oleh anak-anaknya pada hari ulang tahunnya, tetap berusaha menjaga keharmonisan keluarga.
Kesabaran dan pengorbanannya adalah pengingat kuat bahwa ibu sering kali menyembunyikan rasa sakit demi kebahagiaan anak-anaknya.
2. Pentingnya Komunikasi dalam Menjaga Keutuhan Keluarga
Ketidakharmonisan dalam keluarga Haryo tidak sebatas tanggung jawab saja, terlihat pula ada komunikasi yang buruk. Ranika yang terlalu mengatur, Rangga yang bersikap apatis, Hening yang diam-diam menjalin hubungan, dan Rania yang terjebak dalam konflik cinta segitiga mencerminkan bagaimana kurangnya keterbukaan dapat menghancurkan hubungan keluarga.
Film ini menegaskan masalah kecil yang sering dibiarkan berkembang menjadi jurang yang sulit dijembatani. Adegan-adegan cekcok antara saudara memberikan gambaran realistis tentang betapa pentingnya komunikasi yang jujur dan penuh empati untuk mengatasi konflik.
3. Kesadaran yang Datang Terlambat, Penyesalan Tiada Guna
Film ini sangat memotret kehidupan nyata, banyak orang cenderung menunda perhatian dan kasih sayang kepada orang tua, dengan asumsi bahwa waktu akan selalu berpihak. Namun, Bila Esok Ibu Tiada memberikan pelajaran pahit: kesadaran sering kali datang terlambat.
Adegan ketika Rahmi meninggalkan rumah untuk terakhir kalinya, mengunjungi makam suaminya sebelum akhirnya meninggal, menjadi momen klimaks emosional.
Anak-anaknya yang sibuk dengan ambisi masing-masing hanya bisa menyesali bahwa mereka tidak sempat memberi Rahmi cinta dan perhatian yang layak. Penonton diajak merenungkan pentingnya menghargai keberadaan orang tua selagi masih ada waktu.
4. Filosofi Kintsugi: Keluarga yang Retak Masih Bisa Diperbaiki
Filosofi kintsugi dari Jepang, yang menjadi benang merah dalam film ini, menawarkan harapan di tengah keputusasaan. Seni memperbaiki keramik yang retak dengan emas menggambarkan bagaimana hubungan yang rusak dapat menjadi lebih indah jika diperbaiki dengan cinta dan pengertian.
Setelah kepergian Rahmi, keempat anaknya mulai menyadari kesalahan masing-masing. Mereka perlahan belajar untuk saling mendukung, memperbaiki luka-luka masa lalu, dan kembali menjadi keluarga yang utuh.
Kintsugi menjadi metafora yang menyentuh, mengajarkan bahwa keretakan tidak harus menjadi akhir dari segalanya.
5. Pengorbanan Adalah Bentuk Cinta Tertinggi
Film ini juga menyoroti bahwa cinta sejati sering kali terwujud melalui pengorbanan. Ranika, yang harus menunda pernikahan demi mengurus keluarganya, adalah contoh nyata.
Meski banyak konflik yang timbul akibat sikap otoriternya, ia sesungguhnya mencerminkan cinta yang diwujudkan dalam tanggung jawab besar.
Di sisi lain, Rahmi, yang menyembunyikan sakitnya agar tidak membebani anak-anaknya, memperlihatkan betapa dalamnya cinta seorang ibu. Film ini mengingatkan kita bahwa pengorbanan, meski sering kali tidak dihargai, adalah esensi dari kasih yang tulus.
Betapa pun bagusnya kisah film ini, peran semua yang terlihat tak bisa diabaikan. Rudi Soedjarwo berhasil memadukan cerita penuh emosi dengan visual yang memikat, sementara para pemain, terutama Christine Hakim, memberikan penampilan yang luar biasa.
Jika ada satu pesan yang terus terngiang setelah menonton film ini, itu adalah: jangan menunggu kehilangan untuk menyadari betapa berharganya kebersamaan. Seperti kintsugi, keluarga yang retak dapat kembali utuh—bahkan lebih indah—jika diperbaiki dengan cinta.
Baca berita Jurnalistika lainnya di Google News, klik di sini